Dimuat di koran Jambi ekspress, 20 Agustus 2013
Pada
awalnya perempuan berjilbab di Indonesia sempat mengalami kondisi yang tidak
mengenakan dan nyaman. Mereka menjadi
kambing hitam dari prasangka-prasangka negatif masyarakat yang diajarkan secara
struktural. Mereka di benci, dikucilkan, dianggap aneh. Hak privat mereka untuk
mengenakan pakaian yang lengkap dengan
jilbab pun di rongrong di berbagai institusi resmi negara. Secara paksa dan
terang-terangan diperintahkan melepas jilbab, kemudian di diskriminasi dan
diintimidasi. Penulis sempat menyaksikan sewaktu masih duduk di bangku SMP
(Sekolah Menengah Pertama) sekitar tahun 1995-an, bagaimana teman penulis yang
berasal dari keluarga kiyai dan lekat dengan budaya pesantrennya , pergi
sekolah dengan menggunakan rok dan baju panjang, tanpa jilbab, di datangi
secara ekstrim oleh oknum sekolah didepan banyak siswa, kemudian diperintahkan
untuk mengenakan seragam rok dan kemeja pendek, di ancam tidak boleh
menggunakan kerudung. Teman penulis itu kemudian memilih untuk keluar dari
sekolah dan masuk pesantren, setelah berdebat dan perang dingin dengan sekolah
satu bulan lamanya.
Tetapi
seiring waktu kemudian, penulis menyaksikan dari mulai era reformasi bergulir,
jilbab tidak lagi menjadi sesuatu yang asing bagi masyarakat. Masyarakat mulai
menerimanya perlahan dengan ramah. Model jilbabpun saat itu masih sederhana,
hanya sebentuk kain tebal segi empat biasa-biasa saja tanpa variasi cara
memakai maupun motifnya. Setiap perempuan yang memilih untuk menggunakan jilbab
saat itu diidentikan dengan pergumulan bathin dan kesiapan diri yang luar
biasa. Meninggalkan pakaian modis, pergaulan asal-asalan dan bebas, tempat nongkrong
yang gemebyar, beralih ke fokus ibadah dan kajian agama serta keheningan diri
bersama mushola, masjid, dan teman-teman yang akrab dengan perkumpulan pemuda
masjid atau sejenisnya.
Jilbaber,
begitu kemudian sebutan bagi perempuan yang mengenakan jilbab apalagi jilbab
dengan ukuran panjang hingga menutupi separuh dari bagian tubuh. Ternyata dalam
perjalanannya tidak serta merta soal perempuan berjilbab yang melulu mengkaji
agama dan kesadaran kembalinya keakhirat nanti. Mereka yang tergabung dalam
organisasi berlabel agama dikampus-kampus, dan juga kajian-kajian mushola dan
masjid, dibangkitkan kesadarannya akan hak-hak mereka sebagai manusia, dalam
politik, sosial, ekonomi dan budaya. Mereka diajari kritis, tanggap, cerdas
dalam menyikapi dan menghadapi persoalan kehidupan itu. Tentengan mereka tidak
hanya al-qur’an sebagai yang wajib, tetapi berbagai literatur dari berbagai
bahasa. Mereka gemar berdiskusi bukan menggosip, mereka gemar membicarakan
prestasi yang berprestasi tanpa harus pamer dan menonjolkan diri, mereka suka
mengingatkan kealpaan masing-masing terhadap kecintaan duniawi yang berlebihan,
mereka tawadhu, zuhud.
Siapapun
dapat memasuki komunitas mereka dengan penerimaan yang ramah dan mudah, tanpa
harus bersyarat dengan label fashion merk tertentu, atau gadget tertentu. Tidak
ada yang pernah merasa canggung dan minder untuk bergabung dengan mereka,
dengan ataupun tanpa membawa materi atau gaya hidup tertentu. Mereka lebih suka
bergerak dalam mengimplementasikan amal-amal mereka, tanpa peduli publikasi.
Mereka siap dengan label tidak gaul, cupu, tidak asyik, kampungan, ketinggalan
jaman, tapi kalau untuk pemikiran cerdas mereka, siap bersaing !.
Sampai
kemudian masyarakat digemparkan oleh keputusan artis Inneke Koesherawati untuk
berjilbab. Jilbab mulai mengenal bentuk yang sedikit modis, lebih simpel,
praktis dan rapi. Berbondong-bondong sebagian besar perempuan di Indonesia
mulai beralih ke mode fashion berjilbab ini, apalagi ternyata aturan berpakaian
untuk mengenakan jilbab tidak identik dengan baju-baju longgar nan kedodoran,
tetapi semua pakaian yang dikategorikan panjang dan asal menutupi aurat.
Perkembangan
selanjutnya, karena membludaknya minat pasar terhadap mode busana muslim yang
lebih variatif dan dinamis dari segi materi maupun model, jilbab dan pakaian
muslim menghantarkan Indonesia sebagai kiblat mode busana muslim dunia. Kita
dapat menemukan diseluruh pelosok dan diberbagai kalangan setiap perempuan
tidak canggung lagi mengenakan mode busana muslim dan kerudung. Kalangan
sosialita mempelopori kecenderungan mode busana muslim yang gelamor dan lebih
fashionable. Desainer busana muslim dan toko-toko ekslusifnya bermunculan.
Trend
saat ini kitapun mendengar istilah Hijaber, bagi kelompok-kelompok perempuan
pengguna kerudung yang disebut dengan hijab dan cekatan mengkreasinya berbagai
model sesuai gairah berfashion. Mereka dapat dengan mudah kita temui
disudut-sudut pusat perbelanjaan, dalam kafe-kafe mewah, bioskop-bioskop mewah,
hotel-hotel berbintang, naik-turun mobil mewah, di komplek perumahan mewah,
atau dibutik-butik fashion muslim branded dan mewah. Mereka mewarnai media masa
dengan berbagai kegiatan amal dan fashion show, atau acara promo produk
kecantikan.
Khalayak
menyaksikan hijaber ini selain modis, fashionable, juga branded dan glamour
dengan tentengan dan perhiasan mereka, juga cara berhias mereka. Juga asik
menyaksikan mereka berjalan anggun dengan dagu terangkat, dan eksis dimedia
sosial maupun media masa disetiap kesempatan. Sebagian orang dijaman
konsumerisme dan hedonisme ini, bermimpi ingin menjadi seperti mereka, dan
ingin berjalan serta memiliki seperti apa yang mereka punya.
Namun,
terlepas daripada itu perkembangan ini dapat menyebarluaskan dan menduniakan
fashion busana muslim, meskipun hanya terlihat pada kecenderungan trend dan
modisnya. Semua khalayak yang non muslim pun dapat menikmati dan dibuat
terkagum-kagum dengan sisi glamornya. Semoga dilapisan sosial bawah, keinginan
untuk berbusana muslim tidak tergerak karena ingin diakui glamor dan modis
semata, atau tidak ingin memakai busana muslim mengingat modenya yang bagus
tetapi ternyata untuk mengenakannya secara layak merinding melihat dan
diperbandingkan dengan merk dan harga yang dikenakan atasnya dengan lainnya.
0 Komentar untuk "GERAKAN JILBABER DAN GAIRAH HIJABER"