ads
ads

ORANG RIMBA DAN ORANG TRANS (Ingatan akan Interaksi Simbolik)



          Diterbitkan di Harian Jambi Ekspress, 21 September 2013

         Beberapa waktu lalu, tepatnya 10 September 2013, di gedung Taman Budaya Jambi, dihelat pergelaran pertunjukkan seni dan kreatifitas orang rimba, yang merupakan komunitas adat asli mendiami sakralnya belantara hutan Provinsi Jambi, dan menjaganya. Selain memamerkan photographi yang mengabadikan potret orang rimba dalam ekspresi keseharian, juga dipamerkan barang-barang kerajinan tangan orang rimba yang merupakan peralatan hidup mereka sehari-hari. Paling menarik adalah diundangnya orang rimba dari komunitas bukit tiga puluh dan bukit dua belas untuk hadir di gedung Taman Budaya jambi.  
            Malam itu kehadiran orang rimba menampilkan beberapa pertunjukkan seni tradisi mereka di gedung Taman Budaya Jambi. Penulis bersyukur akhirnya dapat menyaksikan pertunjukan Besale yang merupakan ritual pengobatan orang rimba, meskipun hanya direplika untuk kepentingan pertunjukkan seni. Selain itu penulis juga bersyukur dapat menyaksikan tari elang yang agung nan anggun dibawakan asli oleh orang rimba, juga mendengar mantao siolang serta senandung yang ritmis dan mistis dilantunkan. Ditambah lagi pegiat seni jambi yang mau mengkreasikan seni untuk orang rimba menampilkan tari menyan pekasih dan persembahan musik tradisi. Semuanya itu membuat penulis terkagum dan terpana. Tak percaya rasanya bisa menikmati kebudayaan orang rimba sedekat ini.
            Sebenarnya penulis tidak asing dengan keberadaan orang rimba. Dikampung penulis, di daerah transmigrasi kabupaten Merangin, orang rimba kerap hadir setiap hari turut mewarnai kehidupan pemukiman orang-orang transmigrasi. Orang rimba yang pengembaraannya mencapai pemukiman warga transmigrasi, membangun kemah di sekitar perkebunan. Biasanya pengembaraan tersebut dalam rangka mencari tempat bermukim sementara yang baru, atau dikarenakan di tempat pemukiman sementara yang lama terdapat warga komunitas pengembara orang rimba yang meninggal atau sakit. Oleh karena itu interaksi antara orang rimba dan orang trans begitu sebutan untuk warga transmigrasi, cukup intensif dalam pengamatan penulis. Orang rimba dan orang trans melakukan aktifitas transaksi perdagangan kebutuhan hidup sehari-hari.  Orang rimba menjual hasil hutan dan tangkapan perburuan hewan disekitar hutan maupun payau yang terdapat diwilayah jelajahnya kepada orang trans, kemudian mempertukarkannya dengan makanan instan, garam, gula, terutama kopi dan rokok, dan lainnya. Terkadang orang rimba juga meminta ijin menggunakan sumber mata air orang trans, untuk keperluan air minum dan lainnya.
            Melalui keberadaan pemukiman warga transmigrasi yang telah merambah ekosistem hutan Provinsi Jambi hampir keseluruh wilayah, tempat banyak orang rimba tersebar menjaganya jauh sebelum pemukiman permanen itu dibangun dan tanah-tanah dikapling demi pelaksanaan  kebijakan penyebaran penduduk oleh pemerintah, orang rimba akhirnya  mengenal tekhnologi. Pada mulanya orang trans membawa televisi, radio dan tape kehutan yang telah beralih fungsi menjadi pemukiman mereka. Orang rimba yang kebetulan lewat, menyaksikan itu dan terheran-heran, kemudian mengamati, ikut bergabung bersama orang trans menonton televisi, mendengarkan radio, dan nyanyian dari tape. Tak jarang orang rimba juga menumpang pada kendaraan roda empat yang melintas wilayah perkemahan mereka. Orang trans memperkenalkan bentuk tekhnologi transportasi sepeda motor. Kini orang rimba juga mengadopsi tekhnologi komunikasi berupa handphone, yang telah banyak dipergunakan orang trans. Jika hari raya tiba, orang rimba suka sekali berkeliling rumah orang trans untuk meminta kesediaannya memberi kue lebaran kepada mereka.
            Interaksi tersebut diatas yang sedikit banyak mempengaruhi gaya hidup orang rimba untuk mengenal tekhnologi dan makanan instan, ternyata sampai kini masih menyisakan sedikit ganjalan. Apalagi masifnya perluasan areal perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan swasta, dan makin bertambah padatnya pemukiman warga transmigrasi yang menyebabkan orang rimba makin terdesak dalam mempertahankan cara hidup nomaden menjaga hutan, dan keutuhan eksistensi komunitasnya. Orang rimba sering bertandang kekebun-kebun orang-orang trans, mengambil tanamannya kadang dengan seijin pemilik atau tanpa seijin pemilik. Maka tak heran sering terjadi cekcok antara warga trans dengan mereka, jika sudah demikian mereka dianggap pengganggu dan bila pemilik kebun menasehati untuk jangan mengambil tanaman seenaknya, mereka hanya mengatakan “ini tanah nenek moyang kami”. Suatu bahasa simbolik yang terus terngiang ditelinga penulis tentang siapa orang rimba.
            Bagi orang trans, orang rimba adalah “orang lain”, meskipun telah terjadi interaksi dan barter secara intensif diantara mereka. “Orang lain” ini dipersepsikan bau, tidak beradab, aneh, kadang pengganggu, bebal, liar, dan tak memahami keberadaan pemukiman orang trans, dalam hal ini muncul sebutan menyakitkan untuk orang rimba yaitu “kubu”.  Itulah yang menjadi ingatan orang trans bagi yang belum dan tidak mau memahami keberadaan orang rimba. Sebaliknya , orang rimba mempersepsikan orang trans sebagai “orang lain” perambah ekosistem hutan mereka, yang mereka sakralkan, mereka jaga untuk diwariskan keanak cucu mereka dan kehidupan. Jarak antara orang trans dan orang rimba masing-masing sebagai “orang lain” yang dilabelkan negatif meskipun terdapat interaksi positif entah sampai kapan akan berlangsung. Meskipun terdapat orang rimba yang tidak lagi hidup nomaden, tetapi sudah menetap seperti orang trans dan orang dusun, memakai pakaian modern, memeluk keyakinan monoteisme seperti kebanyakan, bersekolah, bertani, berternak, bertekhnologi, tetapi label sebagai “kubu” tetap dilekatkan.
            Orang rimba bagi penulis, adalah suatu indikator masih terdapatnya hutan yang sakral untuk diwariskan kepada anak cucu semua generasi penghuni tanah Jambi, bukan “orang lain” yang aneh dan asing. Jika suku nomaden ini lenyap dengan cara apapun beserta tradisinya, itu berarti lenyaplah hutan, rimba yang sakral penopang hidup manusia dan kemanusiaan di tanah  Jambi.


           
           
           

            

0 Komentar untuk "ORANG RIMBA DAN ORANG TRANS (Ingatan akan Interaksi Simbolik)"
Back To Top