Tulisan ini diterbitkan di Koran Harian Jambi ekspress, 10 Desember 2013
Korupsi telah menjadi gejala umum dalam ruang publik di negara Indonesia
akhir-akhir ini. Setiap hari, informasi mengenai korupsi semakin
memadat dari berbagai kanal berita yang tersedia dimasyarakat. Gejalanya
kian hari menunjukkan kekomplekkan, karena berbagai pihak terlibat
dalam setiap kasus korupsi yang muncul. Ini seperti jejaring yang rumit
dan sulit untuk diuraikan kesudahannya.
Dalam prespektif yang sedikit seksis, korupsi dipandang sebagai sebuah
gejala patologis dari kekuasaan yang didominasi oleh budaya patriarki.
Dominasi budaya ini dipandang sebagai sesuatu yang haus akan kekuasaan
dan menghalalkan segala cara. Apakah rasional atau irasional kemudian
korupsi digunakan sebagai problem solving dalam budaya tersebut.
Kesimpulannya kemudian, gender yang dominan dalam budaya patriarki ini
bukan sebagai sesuatu pribadi yang begitu mudah ditemukan sebagai
pribadi anti korupsi.
Sebaliknya ada yang berprespektif bahwa jika seandainya terdapat lebih
banyak gender yang minoritas dalam hal ini adalah perempuan, bercokol
dalam ruang kekuasaan budaya patriarki itu, maka korupsi dapat sedikit
diredam atau bahkan menurun. Itu dikarenakan anggapan bahwa perempuan
lebih memiliki pilihan sikap yang anti korupsi.
Pada faktanya kemudian masyarakat mempertanyakan benarkah demikian?
Ditengah derasnya pemberitaan saat ini yang menyajikan secara berlebihan
wajah-wajah perempuan yang tersandung kasus korupsi dilingkaran
legislatif, eksekutif ataupun yudikatif bahkan subkultur ekonomi. Ini
dengan berbagai posisi yang kuat ataupun sekedar pembantu, maupun
penggembira dalam lingkaran tersebut, perempuan kian terbelit dalam
titik-titik jejaring kasus korupsi.
Perempuan di Indonesia kini memang sedang menikmati euforia ruang publik
yang tengah membukakan pintunya. Meskipun masih dapat dihitung dengan
jari, tetapi perempuan setidaknya telah mencicipi peluang-peluang
berekspresi di ruang publik, dan mengambil keuntungan darinya. Tidak
sedikit kemudian diantaranya yang berhasil memegang kekuasaan dan juga
mendapatkan manfaatnya.
Kebebasan perempuan untuk meloncat dari ruang privat keruang publik dan
mengambil peran multitalented diantara keduanya, sayangnya kemudian
disambut oleh semangat hedonisme yang memuja kepentingan sesaat dan
kesenangan diatas segala-galanya. Pusaran hedonisme ini begitu kuatnya
menyebar keruang privat dan juga ruang publik dalam garis persinggungan
kehidupan bersama. Dimana nilai-nilai material menjadi ikon yang
diambil.
Hedonisme ini kemudian mengantarkan suatu gaya hidup bahwa ternyata
korupsi tidak mengenal istilah gender. Celakanya, spirit hedonisme
justru kian menjebak perempuan dalam pilihan yang tidak lagi anti
korupsi baik secara langsung ataupun tidak langsung, secara sadar atau
tidak sadar. Keterlanjuran pengambilan peran perempuan di ruang publik
tanpa adanya banyak pengalaman dan jejaring yang banyak juga kuat, belum
memberikan gambaran yang jelas bagi perempuan, bahwa ada suatu
konsekuensi yang juga harus dipertimbangkan didalamnya.
Berbeda dengan gender mayoritas dalam budaya patriarki yang telah
mengetahui konsekuensi sekaligus manfaat dari kekuasaan dan mempunyai
strategi atasnya, pusaran hedonisme dengan mudah mengalihkan bahwa
sebenarnya perempuan-perempuan yang menjadi korban dalam kasus korupsi
menjadi sosok yang harus bertanggung jawab atas kasus korupsi yang
muncul. Seolah-olah tangan perempuan memang menentukan dalam setiap
kasus korupsi.
Publik kemudian juga menyoroti, diruang privat perempuan semakin tidak
mempunyai saringan logika yang baik berhadapan dengan arus hedonisme.
Terkadang, dorongan laki-laki untuk melakukan korupsi dimulai dari
tuntutan perempuan di ruang privat ini. Maka wajar kemudian perempuan
jika menjadi tertuduh pelaku korupsi diruang publik. Kita tentu masih
ingat, bagaimana publik menyoroti gaya belanja online angelina sondakh
yang mencapai milyaran, harga-harga tas anggota dewan perempuan,
hadiah-hadiah permintaan yang diberikan kepada si A , si B, si C,
perempuan pendamping tersangka korupsi laki-laki.
Di satu sisi, perempuan diupayakan untuk dapat ditingkatkan
partisipasinya dalam setiap proses politik dalam pergulatan di ruang
publik. Harapannya adalah agar perempuan dapat mengawal kebijakan yang
berimbang dan tidak lagi menyudutkannya, dan mengabaikan kepentingannya
pada bidang-bidang yang vital dan berdampak kepada orang-orang disekitar
perempuan. Apalagi dalam gejala korupsi, perempuan adalah korban yang
telak dari setiap kasus korupsi yang terjadi, karena dampak korupsi
merampas hak-hak perempuan, apalagi perempuan dalam kategori marginal,
dari segi pendidikan, kesehatan, pelayanan publik, dan kesempatan untuk
dapat sejahtera bagi diri, anak-anaknya, maupun keluarganya.
Jadi, apakah perempuan mengambil pilihan sikap anti korupsi atau datang
memenuhi undangan kebebasan berkuasa di ruang publik, dan dijadikan
taruhan dalam arena permainan dadu yang bernama korupsi, perempuan harus
menjadi sosok Drupadi yang tabah sekalgus cerdas, menghadapi segala
kemungkinan dan konsekuensinya. Apalagi di ruang publik juga privat,
perempuan telah dilucuti eksistensinya oleh spirit hedonisme, yang
setidaknya tetap memberikan konsep keraguan akan kapabilatas perempuan
untuk menjadi pemimpin bagi sesamanya atau semua. Dan biarpun perempuan
mencoba melakukan pembelaan dan mempertanyakan keadilan dalam posisinya
saat ini berhadapan dengan korupsi, tidak ada satupun kebijakan yang
dengan bajik berupaya untuk membela perempuan dalam majelis-majelis yang
terhormat sekalipun. Kalaupun ada pertolongan, itu hanya sebuah
selendang yang tidak begitu panjang, dan tiba-tiba muncul ketika kasus
korupsi membelit perempuan.
0 Komentar untuk "Hedonisme, Perempuan dan Korupsi"