ads
ads

MEMAHAMI LEBIH DALAM KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN (Antara Gender, UU KDRT dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)




Diterbitkan di Harian Jambi ekpress 5 Maret 2009             

  Acuan penanganan perkara kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, telah ditandatangani kesepakatannya antara Kejaksaaan RI dan Lembaga Bantuan Hukum-Asosiasi  Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (LBH-APIK), pada 30 Januari 2009 kemarin. Upaya yang patut  didukung semua pihak, meskipun hanya dikhususkan untuk wilayah JaBodeTaBek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi).
                Konsekuensi atas komitmen Kejaksaan RI dalam hal ini, dapat menjadi angin segar bagi langkah awal, untuk lebih dipertegasnya penjaminan dan proses penegakkan hukum kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, pada lingkup Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) mengacu pada Undang-Undang No.23 Tahun 2004 Tentang KDRT. Mengingat ada kecenderungan peningkatan untuk kasus KDRT.
                Momen inipun bisa dijadikan untuk lebih menyadarkan dan membuka pemahaman masyarakat disegala lapisan sosial dan umur, maupun lintas jenis kelamin, mengenai pengertian dan bentuk sesungguhnya kekerasan terhadap perempuan. Tulisan ini terutama berangkat dari keprihatinan masih minimnya pengetahuan masyarakat mengenai kekerasan terhadap perempuan.
                Ceritanya saya terkejut ketika mendapati fakta dilapangan bahwa masih banyak orang berpikir, terutama dari sisi laki-laki, kekerasan terhadap perempuan adalah notabene hanya kekerasan secara fisik. Menurut pendapat mereka, maka UU KDRT tidak diperlukan, karena sudah ada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengaturnya.
                Hal ini amat disayangkan, karena dari sisi perundang-undangan, UU KDRT, sudah berjalan sekitar empat tahun lebih.Dan selama kurun waktu itu, sudah banyak individu, tokoh, maupun organisasi masyarakat yang mengkhususkan diri menangani isu-isu kekerasan terhadap perempuan ini, berbicara diberbagai media elektronik maupun cetak mengenai kekerasan terhadap perempuan.
                Dan sudah banyak pula kasus yang diangkat. Tetapi lagi-lagi, sayangnya, semua itu hanya terpaku pada gambaran kekerasan terhadap perempuan yang notabene secara fisik.
                Jika demikian, hal pertama yang perlu disingkap untuk dipahami dalam hal kekerasan terhadap perempuan ini, adalah mengenai perbedaan laki-laki dan perempuan secara seksual, yang kemudian akan menuntun pada perbedaan secara gender yang dilekatkan pada perempuan dan laki-laki. Gender akan menyebabkan timpangnya relasi perempuan dan laki-laki, yang pada akhirnya menimbulkan kekerasan terhadap perempuan.
                Secara seksual, laki-laki dan perempuan adalah berbeda dalam segi jenis kelamin yang secara biologis menentukannya, dan secara fisik melekat padanya. Artinya, berdasarkan perbedaan secara seksual ini, ada kodrat yang memang sudah diciptakan oleh Tuhan YME, yang tidak dapat dirubah, dan tidak dapat dipertukarkan, berlaku sepanjang zaman, dan dimana saja. Contoh perbedaan ini adalah; laki-laki memiliki penis sedangkan perempuan memiliki vagina, perempuan mengalami menstruasi, hamil, melahirkan, menyusui. Laki-laki membuahi sel telur perempuan dengan sperma.
                Sedangkan secara gender, yang istilahnya menurut Kartini Syahrir merupakan istilah barat yang didapat dari revolusi industri untuk membedakan pekerjaan laki-laki dan perempuan, maka laki-laki dan perempuan dibedakan berdasarkan sifat dan perilaku yang dilekatkan pada masing-masing.
                Pelekatan ini di konstruksikan secara sosial maupun budaya,  yang di pengaruhi oleh, tempat, waktu, suku/ras/bangsa, status sosial, budaya, agama, dan ideologi negara. Jelas dalam hal ini, bahwa  pembedaan antara laki-laki dan perempuan secara gender ini adalah buatan manusia, bisa berubah, dan relatif.
                Contoh perbedaan secara gender ini adalah; laki-laki cenderung memiliki sifat maskulin dan perempuan cenderung feminin, laki-laki melakukan fungsi produksi dan perempuan melakukan fungsi reproduksi, laki-laki mengangkangi ruang lingkup publik sedangkan perempuan hanya bisa bergerak di sektor domestik, dalam hal mencari nafkah, laki-laki adalah pencari nafkah utama,sedangkan perempuan hanya sebagai penari nafkah tambahan yang tidak dianggap penting.
                Jelas bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara seksual adalah hakiki, sedangkan perbedaannya secara gender adalah mengenai masalah stereotype, stigma, atau pencitraan. Pembedaan secara genderlah akar dari kekerasan terhadap perempuan timbul, karena dari  pembedaan ini lahir  dan tercipta sebuah ketimpangan struktur dan sistem sosial dalam kehidupan bermasyarakat yang timpang antara laki-laki dan perempuan.
                Ketimpangan tersebut menciptakan apa yang dinamakan dengan ketidakadilan yang berbasis gender, dan merupakan akibat dari ketidakadilan berbasis kekuasaan. Kekuasaan disini dimaknai sebagai berkuasanya dominasi laki-laki dengan hukum patriarkinya dalam bentukan sosial budaya dimana pandangan laki-lakilah yang mendapat legalitas dan selalu benar, sedangkan hampir semua pandangan perempuan diabaikan.
                Dalam kerangka ini, kekerasan terhadap perempuan adalah salah satu dari sekian bentuk ketidakadilan gender yang dapat ditemui. Kekerasan terhadap perempuan muncul melalui fase yang pertama adalah marginalisasi atau peminggiran peran dan eksistensi perempuan dalam hukum budaya patriarki yang berkuasa.
                Fase berikutnya adalah subordinasi atau menempatkan perempuan pada posisi dan urutan dibawah segalanya dalam segala bidang, karena proses marginalisasi dijalankan. Berikutnya lagi, karena posisinya yang tersubordinasi, terjadilah fase stereotyping, fase dimana perempuan dicitrakan sebagai makhluk yang lemah, tidak berdaya, tidak mampu, benda yang bisa dipertukarkan dan diperjualbelikan, lengkaplah sudah perempuan sebagai makhluk dan benda  yang marginal dan tersubordinasi.
                Selanjutnya, perempuan akan masuk pada fase yang paling ekstrem  sebelum masuk pada puncaknya kekerasan terhadap perempuan, dimana perempuan akan menanggung kewajiban beban kerja yang berlebihan, sebagai pekerja domestik yang bekerja penuh dua puluh empat jam nonstop dan tidak dibayar, sebagai pelayan, sebagai perawat, , pengasuh anak, sebagai pencari nafkah tambahan, sebagai sumber yang patut dipersalahkan jika terjadi kekacauan dan ketidaksesuaian.
                                Pada titik ini perempuan akan mengalami kelelahan secara mental dan fisik. Sehingga apapun yang ditimpakan padanya, akan ia terima dengan keikhlasan sebagai sebuah kodrat yang memang sudah diperuntukkan kepadanya, tanpa sempat dan berhak memikirkannya, mengkritisinya dan melawannya, serta memperjuangkannya untuk mendapatkan hak-haknya yang sebenarnya.
                Inilah celah kekerasan terhadap perempuan kemudian dapat  muncul, baik secara fisik maupun psikis.  Terutama secara fisik yang mempunyai dampak kuat pada psikis perempuan, untuk menerima begitu saja perlakuan semena-mena dan tidak manusiawi  terhadapnya. Karena dalam posisi dari sudut pandang gender ini, perempuan diturunkan derajatnya tidak sebagai manusia, dan lebih dipandang sebagai kepemilikan atau benda, yang tidak mempunyai hak apapun, kecuali kewajiban yang diperuntukkan dengan porsi yang sangat besar kepadanya.
                Berikutnya, kita akan melihat , bagaimanakah kekerasan terhadap perempuan dilihat dari sudut definisi perundang-undangan ? Sebuah produk perundang-undangan muncul, karena adanya dinamika dalam masyarakatnya yang terus berkembang, tak lagi bisa ditampung dalam wadah dan peraturan yang lama.  Artinya, permasalahan yang menuntut diperlukannya undang-undang ini telah berubah bentuk menjadi suatu permasalahan serius, urgen, dan tidak bisa dibiarkan tanpa  ada yang mengkontrolnya.
                Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat definisi yang terdapat dalam UU KDRT, karena undang-undang inilah yang secara khusus mengatur penjaminan terhadap perkara KDRT yang timbul, dan juga berangkat dari asas keadilan dan kesetaraan gender. Dalam pasal 1 UU KDRT definisinya adalah sebagai berikut, “...setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat  timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan “, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”
                Kekerasan fisik secara jelas dalam UU KDRT didefinisikan didefinisikan dalam pasal 6 sebagai “...perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.” Contoh nyata bentuk kekerasan secara fisik, jelas dapat ditemui, seperti pemukulan, penyiksaan secara fisik dengan sarana apapun, dan meninggalkan bekas yang terlihat. Sedangkan kekerasan secara psikis didefinisikan dalam pasal 7 sebagai berikut, “...perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang.”
                Kekerasan secara psikis inilah yang belum banyak dipahami dan diketahui oleh masyarakat umum, khususnya perempuan sendiri.  Bentuk nyatanya dapat ditemui dalam contoh;  penghinaan pada perempuan lewat kata-kata maupun perbuatan, ancaman, pelecehan yang menimbulkan trauma secara psikis. Termasuk juga dalam kategori ini adalah penelantaran secara ekonomi terhadap orang yang dikondisikan memiliki ketergantungan yang besar secara ekonomi, dibawah kendali sepenuhnya orang tempat ia tersebut bergantung. Penelantaran ini diatur dalam pasal 9 UU KDRT.
                Sedangkan kekerasan secara seksual yang diatur dalam pasal 8 UU KDRT masuk dalam kategori fisik yang berakibat besar pada psikis perempuan. Contohnya adalah, pemaksaan hubungan seksual secara incest, pemerkosaan terhadap pembantu rumah tangga, Marital rape  atau pemerkosaan dalam perkawinan (pemaksaan hubungan seksual terhadap istri), pemaksaan hubungan seksual kepada perempuan dengan orang lain dengan tujuan komersial (perdagangan/trafficking).
                Inilah yang membedakan antara UU KDRT dibanding dengan KUH Pidana. Dalam pidana hanya diatur tindak kekerasan secara fisik secara umum, seperti pornografi (pasal 282 dan seterusnya), perbuatan cabul (pasal 292 dan seterusnya), penganiayaan (pasal 351 dan seterusnya), pembunuhan (pasal 338 dan seterusnya), penculikan (pasal 328 dan seterusnya). Perempuan pun hanya dinyatakan sebagai korban apabila hanya menyangkut hal, pemerkosaan (pasal 282), pemaksaan pengguguran kandungan tanpa seizin perempuan yang bersangkutan (347), perdagangan perempuan (297), dan melarikan perempuan (pasal 332).
                Disini tampak bahwa incest, marital rape, tidak mendapat tempat dalam KUH Pidana. Disamping itu, definisi yang mengarah kepada hubungan secara seksual dengan pemerkosaan pun dalam KUH Pidana masih rancu. Seperti disebutkan dalam KUH Pidana bahwa hubungan seksual yang dimaksud adalah, menyangkut terlibatnya antara kelamin laki-laki dan perempuan seperti dalam arti kasarnya hubungan seksual secara biologis. Padahal dimungkinkan hubungan seksual ini tidak melibatkan kelamin sepenuhnya, seperti dengan benda, secara oral dengan salah satu kelamin.
                KUH Pidana ini pun tidak melindungi perempuan dibawah umur yang menjadi korban kekerasan, dan juga lingkup perempuan yang ada dalam satu rumah tangga seperti pembantu rumah tangga. Yang paling hakiki, menurut KUH Pidana, kekerasan terhadap perempuan hanya merupakan pelanggaran kesusilaan semata,  yang sanksi-sanksinya tidak begitu tegas.
                Sedangkan UU KDRT mengatur bentuk kekerasan bagi setiap orang yang ada dalam lingkup rumah tangga terutama perempuan, baik anak, maupun istri, dan juga pembantu rumah tangga, baik secara pertalian darah maupun hukum seperti anak angkat. Disamping itu, yang paling utama dari UU KDRT ini adalah penjaminan terhadap korban kekerasan baik dari segi haknya maupun dalam proses hukumnya, seperti pelayanan kesehatan, perlindungan sepenuhnya bagi korban terhadap rahasianya, pendampingan dan bimbingan rohani, perlindungan dan pendampingan bagi saksi terhadap korban kekerasan. Berarti dengan adanya UU KDRT ini, kekerasan terhadap perempuan sudah meningkat statusnya menjadi sebuah kejahatan  terhadap kemanusiaan.
                Kekerasan terhadap perempuan bisa kita lihat akar permasalahannya secara gender, kemudian kepada undang-undang yang berusaha untuk menghapuskan kekerasan yang timbul, serta mengembalikan posisi perempuan sebagai layaknya juga manusia, seperti halnya laki-laki. Dan setiap bentuk kekerasan terhadap perempuan yang terjadi semata-mata adalah sebuah upaya untuk meneggakkan hak asasi perempuan sebagai manusia, yang sudah sepatutnya untuk diperlakukan secara manusiawi.
                Memanusiakan manusia tanpa memandang jenis kelaminnya adalah suatu persepsi yang harus disebarkan dan ditanamkan pada setiap individu, sekali lagi apapun jenis kelaminnya adalah suatu persepsi yang harus disebarkan dan ditanamkan pada setiap individu, sekali lagi apapun jenis kelaminnya.
                Lebih daripada itu, inti perilaku kekerasan terhadap perempuan sebenarna adalah dimulai dari lingkup rumah tangga, yang kemudian perilaku tersebut bisa terbawa keluar dan menyebar  ke lingkup publik. Maka, adanya UU KDRT ini, yang seolah khusus hanya pada kekerasan terhadap perempuan dalam lingkup rumah tangga saja, patut didukung dalam pelaksanaannya dan penegakkannya, sebagai langkah awal menghapuskan kekerasan terhadap perempuan, yang dimulai pada ranah yang paling kecil namun penting, yaitu keluarga.
               

0 Komentar untuk "MEMAHAMI LEBIH DALAM KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN (Antara Gender, UU KDRT dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)"
Back To Top