Dimuat di harian Jambi Ekspress, 4 Juni 2013
Sejarah bangsa ini mencatat, bahwa pada 1 Juni 1945
telah dirumuskan satu ideologi bangsa yang diambil dari nilai-nilai hidup
masyarakatnya dan telah dijadikan pedoman dalam kehidupan bersama sejak berabad
lamanya, ialah yang dinamakan dengan Pancasila. Kelahirannya sebagai sebuah
ideologi dicetuskan oleh pendiri sekaligus pemikir bangsa dengan kecerdasan
luar biasa, dijaman yang menganggap
bahwa sebuah ideologi adalah sebuah identitas teramat penting dan merupakan
harga mati dalam kerangka kebangsaan dan kehidupan kenegaraan.
Pemikiran
untuk mencetuskan ideologi Pancasila
saat itu sungguh mendesak, tapi dapat terwujud dengan konsensus yang
penuh dengan nuansa intelektual, merangkul segala perbedaan, menyingkirkan
arogansi kepentingan pribadi dan golongan, karena satu tujuannya bahwa negara
Indonesia yang akan didirikan ini memerlukan satu fondasi bangunan ideologi
untuk memperkuat bangunan kenegaraan dan identitas kebangsaannya.
Selanjutnya
kita tahu, bahwa sejak dimuatnya Pancasila dalam teks proklamasi kemerdekaan
Indonesia yang dibacakan oleh Soekarno pada Agustus 1945, ia telah menjadi
sebuah perangkat yang menjalin kesatuan sistem hukum di Indonesia dan tempatnya
ada pada hirarki teratas. Seiring orde kekuasaan bergulir, kita menyaksikan
dalam rekaman catatan sejarah bangsa ini, sebagai sebuah ideologi yang
dipersiapkan dalam keadaan darurat itu ternyata mengalami berbagai pasang surut
dalam implementasi dan pemahamannya.
Pasang
surut Pancasila sebagai sebuah ideologi sejak ia dilahirkan yang bukan dari
pemikiran satu orang dan kepentingan yang mengikutinya, adalah hal yang wajar. Bukankah
saat itu tugas yang utama adalah merumuskan, dan hal itu bukanlah perkara yang
mudah disaat kesadaran akan kebangsaan dan kenegaraan sedang menjadi kebanggaan
tersendiri serta merupakan suatu yang penting bahkan sempat menghangat menyulut
kegentingan yang bahkan dapat memicu terjadinya peperangan di berbagai belahan
dunia.
Menyadari
akan hal itu, konsep dan rumusan Pancasila yang berbeda dari ideologi manapun
didunia ini dapat kita lihat, siap dirumuskan dan di konsep serta dicapai dalam
perjalanan konsensus yang panjang dan alot, tetapi masih meninggalkan satu
jejak yang harus diikuti sampai kepada tujuan besarnya, yaitu penjabarannya
dalam ranah filsafati sebagai sebuah ideologi bangsa yang merupakan fondasi
kehidupan bersama.
Bangsa
ini memang punya sejarah kelam ketika Pancasila dijadikan sebagai ideologi yang
hanya sekedar alat melanggengkan kekuasaan di bawah rezim orde baru. Tidak
dapat saya pungkiri, bahwa dijaman itu yang sempat saya rasakan dalam kesadaran
saya meskipun hanya sekejap, Pancasila menggeliat bangun mencari sandaran
filsafatnya sebagai sebuah ideologi bangsa meskipun dibawah tekanan implementasi
rezim yang dzalim, korup, dan hanya mengandalkan moncong senapan dan selongsong
peluru. Tapi, saat itu saya yang baru bertumbuh sebagai remaja seperti halnya
Anak Baru Gede (ABG) dijaman keterbukaan, dan wabah kebebasan berdemokrasi ini
berlangsung, berhasil memandang dan merekam Pancasila sebagai sebuah ideologi
bangsa yang utuh, sakral, tak tergantikan.
Pun
ketika saya bertumbuh mengalir bersama era reformasi yang di cangkokkan di
negara ini, dan memiliki kesempatan untuk memahami ideologi lainnya yang
berkembang didunia dimana ketika rezim orde baru bertahta ada sebagian yang
sangat terlarang untuk mempelajarinya, tidak dapat saya temukan tandingan yang
dapat mengungguli kejeniusan ideologi Pancasila, kecuali ruang bangunan
penjabarannya secara filsafati yang belum banyak terisi dan belum selesai
dibangun.
Saat
ini, saya bertemu dengan fakta kegelisahan semua orang yang hidup di negara ini
untuk merevitalisasi kembali Pancasila ditengah pusaran ideologi lainnya, yang
mengalir deras tak terbendung masuk ke seluruh sendi kehidupan, dan tengah
berusaha untuk menggesernya menjadi sebuah ideologi yang usang tidak populer,
ada juga yang memfitnahnya sebagai sebuah ideologi hasil pembelokan konsensus
untuk menyepakati golongan keyakinan tertentu vs keyakinan tertentu.
Mungkin
kita telah terlewatkan, bahwa revitalisasi sebuah ideologi itu tidak hanya
cukup membawanya ketengah perbincangan, debat kusir, diskusi, keseluruh penjuru
tanah air. Apa yang dibutuhkan dalam rumah kebangsaan bernama Indonesia ini,
adalah memperkuat dan mempertahankan fondasi bangunan rumahnya agar tidak rapuh
gampang rubuh meskipun penghuninya terpolarisasi kedalam berbagai polemik, agar
siapapun yang menjadi pemimpin didalamnya tidak sampai terpikir untuk menggadaikan
rumah kebangsaan ini demi kepentingan sesaat.
Untuk
itu, kita tidak perlu alergi terhadap kata indoktrinasi yang sempat menjadi
hantu selama rezim orde baru berkuasa, atau bahkan curiga seperti dunia
mencurigai beberapa negara yang masih setia dengan paham komunisme dan bisa
bangkit karenanya. Kita dapat belajar dan mengambil hal terbaik darinya,
bagaimana mereka menjalankan sebuah perangkat ideologi, menanamnya disetiap
sanubari dan lahan kehidupan bernegara, tapi dengan cara-cara yang kita tahu
tidak boleh mengulanginya kembali, yaitu daur ulang demi status quo dan
kepentingan tertentu. Bukankah ideologi tanpa indoktrinasi sama seperti halnya
pepesan kosong?
Begitu
juga, indoktrinasi tanpa persiapan dan kelengkapan perangkat penjabaran
filsafatinya bagaikan menghadapi lawan tanpa peta strategi kekuatan? maka sudah saatnya bangsa
ini memformat pemikir-pemikir cerdas yang tak kalah jeniusnya dengan pendiri
bangsa ini, untuk mewujudkan bangunan filsafat ideologi pancasila, dan juga
mempersiapkan langkah penanamannya dijalan yang tidak alergi terhadap indoktrinasi
yang justru terhadap ideologi bangsa sendiri. Kita dapat belajar dari negara
lain, bahwa bangunan bangsa yang kuat dibangun terlebih dahulu dari politik
yang berlandaskan ideologi yang juga tertanam dalam galian fondasi yang dalam.
Semoga
tulisan ini dapat menjadi alarm kesadaran saya dan anda semua, dimana generasi
sekarang, yang tengah baya menyingkir dari ideologi Pancasila dan memilih
merangkul ideologi yang pro terhadap kepentingan hedonis sesaat, kemudian
mewariskannya kepada yang muda untuk tidak mau susah memahami ideologi
Pancasila sebagai jati dirinya yang merupakan bangsa Indonesia.
0 Komentar untuk "MENCARI JALAN REVITALISASI PANCASILA"