(Tulisan ini dimuat di Jambi Ekspress Jumat 31 Mei 2013)
Syarat
30 % kuota keterwakilan politik perempuan kembali digaungkan dalam rezim sistem
Pemilu 2014 melalui Undang-Undang No.8 Tahun 2012. Banyak pro dan kontra
dikeluarkan terkait syarat ini. Alasan terbesar adalah bahwa sulit bagi partai
politik untuk memenuhi syarat tersebut terutama untuk daerah-daerah pelosok
Indonesia. Selebihnya berbagai pihak terutama kaum laki-laki, menyangsikan akan
kemandirian, kecakapan, dan kemampuan, serta daya juang perempuan untuk terjun
di bidang politik bersama dengan kaum laki-laki lewat syarat tersebut yang
dianggap memanjakan kaum perempuan.
Namun,
terlepas dari itu, keterwakilan politik perempuan dan perlakuan khusus
sementara atau lebih dikenal dengan Affirmative
Action, adalah sebuah keniscayaan. Pertama, karena Indonesia telah
menandatangani Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskrimansi Terhadap
Perempuan (CEDAW) dan telah meratifikasinya ke dalam Undang-Undang No. 7 Tahun
1984 tentang hal yang sama. Jika demikian, secara otomatis, Indonesia telah
dikenakan segala kewajiban yang terdapat dalam muatan materi konvensi tersebut.
Dalam hal ini, dasar hukumnya adalah pasal 4 CEDAW yang berisi Affirmative Action dan Bagian II Pasal 7
butir (a) CEDAW yang berisi tentang kehidupan politik dan kehidupan
kemasyarakatan perempuan.
Kedua,
dinamisasi kehidupan perempuan yang telah merambah dan mendukung berbagai
sektor, apalagi dibidang ekonomi. Separuh lebih penduduk dunia adalah perempuan
yang merupakan target potensial pemasaran dan murahnya tenaga kerja, serta
berkembangnya industri keratif. Ironisnya, masalah-masalah sosial
kemasyarakatan secara psikologis dan ekonomi seperti kemiskinan, kesehatan,
keterbelakangan, pendidikan, kriminalitas, juga merupakan jerat utama dalam
jejaring separuh lebih penduduk dunia yang adalah perempuan itu. Sementara itu,
perempuan juga diandalkan untuk menanggung beban keberlangsungan eksistensi
kehidupan melalui proses reproduksi biologis dan penjagaannya terhadap generasi
penerus berikut masa depannya.
Oleh
karena itu, berbagai pihak, terutama kaum perempuan sendiri, tidak bisa lagi
untuk menutup mata melihat kondisi yang ada. Selain sebuah keniscayaan, keterwakilan
politik perempuan adalah tangga darurat bagi kaum perempuan untuk menghadapi
situasi genting yang setiap saat bisa saja menimpa diri semua perempuan dan
berimbas kepada kelangsungan hidup keluarganya terutama anak-anaknya. Ini
mengingat, bahwa pada situasi yang paling tidak menguntungkan, perempuanlah
yang akan paling menderita dibanding dengan kaum laki-laki.
Dalam
kerangka Affirmative action, syarat 30 % kuota keterwakilan politik
perempuan, adalah sebuah upaya untuk menuju percepatan tercapainya persamaan
pemenuhan hak antara laki-laki dan perempuan di bidang politik. Tapi sekali
lagi, memang untuk menjalankan upaya ini tidaklah semudah membalikkan telapak
tangan, dikarenakan posisi inferior perempuan dan ketidak percayaan publik
terhadap kredibiltas perempuan untuk terjun ke ranah politik secara pribadi dan
mandiri, bukan atas pengaruh bayang-bayang atau embel-embel nama besar suami
juga keluarga.
Menyikapi
hal tersebut, penulis berpendapat, bahwa adalah wajar jika partai politik
peserta pemilu 2014 dalam pemenuhan syarat 30 % kuota keterwakilan politik
perempuan, banyak memunculkan daftar nama calon legislatif (caleg) perempuan
yang bernuansa politik dinasti. Berdasarkan pengamatan, caleg perempuan yang
muncul kebanyakan merupakan istri dari pejabat publik tertentu, atau istri dari
petinggi partai, yang suaminya incumbent.
Kondisi
ini tidaklah perlu dipermasalahkan dulu untuk langkah awal upaya pemenuhan 30 %
kuota keterwakilan politik perempuan. Alasan yang dapat penulis berikan adalah,
pertama; kuantitas merupakan target pertama yang harus dikejar untuk memotivasi
kesadaran politik perempuan akan pentingnya keterwakilan kaumnya. Kedua; medan
politik yang semakin rumit dan berat menuju pemilu 2014, merupakan sarana
pembelajaran perempuan untuk mendapatkan pengalaman-pengalaman berharga
dibidang politik. Ketiga; kebangkitan kesadaran politik kaum perempuan , paling
mudah dapat dimulai dari kaum elit dengan tangga dinastinya. Ini dengan
mengingat, sumber daya, koneksi, jaringan, dukungan suara, dan segala akses
kemudahan yang mendukung mereka untuk bergerak cepat dalam arena pertempuran
perebutan kekuasaan.
Memang
kesannya jika pemenuhan syarat 30 % kuota keterwakilan politik perempuan
digulirkan dari tangga politik dinasti, kualitas seolah diabaikan dengan posisi
sang wakil perempuan yang hanya sebagai boneka pajangan mudah di steer. Tetapi kedepan, penulis yakin,
perempuan-perempuan dalam politik dinasti yang diterjunkan untuk mewakili
syarat keterwakilan politik kaumnya itu, akan berada dalam titik jenuh kondisi kesadarannya,
bahwa posisi mereka merupakan hal yang penting dan signifikan untuk
memperjuangkan apa yang menjadi hak dirinya juga kaumnya, berdasarkan
fakta-fakta mereka temui nantinya selama dilapangan dalam menjalankan tugasnya
sebagai wakil politik kaumnya, dan juga benturan-benturan kekuasaan yang kerap
mereka temui dalam arena politis bisa jadi melelahkan sekaligus menggelisahkan
kesadaran mereka.
Harapannya,
setelah posisi keterwakilan politik perempuan ini berjalan mapan secara
kuantitas meskipun dibidani dengan munculnya wakil politik perempuan dari
tangga politik dinasti secara acak dan paksa, perempuan-perempuan itu dapat
menjadi cermin, teladan, motivator bagi pemberdayaan politik perempuan
dibawahnya terutama di tingkat grass root.
Selanjutnya stakeholder yang
bersentuhan dengan wakil politik perempuan itu, dapat lebih banyak memberikan dorangan
dan bimbingan tekhnis untuk upgrade kuantitas
menjadi kualitas ,melalui kerjasama yang dapat dibangun dengan partai kendaraan
pengusung wakil poltik perempuan atau melalui pintu parlemen.
Tak
hanya itu, juga upaya membangun kesadaran wakil politik perempuan tersebut
untuk membentuk jaringan tidak hanya ditingkat parlemen tapi sampai ke grass root untuk eksistensi posisi
mereka sebagai wakil politik dan juga regenerasi. Lebih penting lagi adalah,
setelah terbentuknya upgrade dan
jaringan, upaya saling sharing atau tukar pengalaman serta
strategi mengenal dan menghadapi medan pertempuran politik harus berjalan, agar
jejaring keterwakilan politik perempuan menjadi solid dan kuat. Setelahnya,
publik tinggal menilai kemampuan dari wakil politik perempuan tersebut ketika
masih dalam bayang-bayang penuh embel-embel dinastinya, dan setelah mengalami
upaya pemberdayaan sedemikian rupa.
0 Komentar untuk "POLITIK DINASTI DALAM PEMENUHAN 30 % KUOTA KETERWAKILAN POLITIK PEREMPUAN"