Diterbitkan di Harian Jambi ekspress, 24 September 2013
Sebulan yang lalu ramai diperbincangkan akan test keperawanan bagi siswi SMA yang akan masuk sekolah di daerah tertentu di pulau Jawa. Berbagai pihak yang pro terhadap test keperawanan kemudian membumbuinya dengan persetujuan, untuk memasukkan test keperawanan dalam sebuah undang-undang yang mengatur sistem pendidikan di Indonesia. Kelompok-kelompok dengan label agama, baik dari institusi partai politik, DPR, maupun pemerintah angkat bicara soal test keperawanan yang mutlak bagi anak-anak perempuan. Mereka tergerak karena menilai bahwa saat ini banyak terjadi kenakalan terhadap remaja yang menyebabkan nilai moral merosot, dan indikatornya adalah semakin menurunnya anak-anak perempuan usia belia yang masih perawan dipersepsikan dari keutuhan selaput dara.
Tentunya hal ini menuai kritik dan perdebatan hangat dari pihak yang kontra terhadap test keperawanan. Bagi yang kontra, keperawanan adalah suatu privasi. Lagi pula tidaklah etis membebankan kemerosotan nilai moral dengan tolok ukur keperawanan dari segi keutuhan selaput dara. Bergeser kepada gender, mengapa harus anak-anak perempuan yang diusik? Mengapa harus anak-anak perempuan pula yang menanggung indikator kemerosotan moral tersebut? Bagaimana dengan anak-anak laki-laki?. Sebuah kontroversi yang tiada habisnya jika berbicara soal keperawanan.
Pengalaman penulis, soal keperawanan pernah menjadi isu yang booming di kisaran tahun 2003-an sampai dengan 2004-an, ketika penulis masih menjadi mahasiswa di Jogjakarta. Seorang ustadz muda di Jogjakarta melakukan survei dibeberapa kampus, kemudian mempublikasikan hasilnya bahwa 99% mahasiswi di Jogjakarta dinyatakan tidak perawan lagi oleh lembaga survei ustadz tersebut. Merupakan fakta yang mencengangkan bukan? Di Jambi isu keperawanan juga pernah merebak sekitar tahun 2009-an, dicetuskan oleh seorang politikus. Alhasil isu keperawanan membuat orang latah sekaligus merenung.
Keperawanan bagi peradaban orang Timur bukanlah sesuatu yang asing. Ia dipuja sebagaimana tubuh perempuan yang tidak terjangkau dan menjadi mitos kemudian ditabukan. Keperawanan adalah simbol bagi keberadaan tubuh perempuan, identitas, integritas kedirian perempuan juga keluarga serta komunitasnya dimana perempuan berada. Jika spirit perempuan adalah sumbu, maka keperawanan adalah nyala api. Pertama, keperawanan adalah keutuhan selaput dara dan ketahanan perempuan menjaganya. Kedua, ini yang kemudian menjadi spirit, bahwa perawan menebarkan semangat kejujuran, kesucian, kebersihan ruhani dan batin, kehangatan, keramahan, kelembutan, kesabaran, kesantunan, kebaikan, juga keberkahan. Suatu tanggung jawab yang luar biasa disandangkan pada perempuan dan keperawanannya.
Kita yang di hidup di peradaban Timur juga lekat dengan mitos bahwa siapa (terutama lelaki) pun yang dapat memerawani banyak perawan atau meminum darahnya, akan menjadi digdaya, perkasa, tangguh, dan sakti, langgeng dan awet muda. Ini suatu simbol relasi kuasa dengan keperawanan. Kita dapat melihatnya bahwa keperawanan sangat dibutuhkan untuk menopang kekuasaan sekaligus sebagai tumbal bagi kekuasaan. Ia seumpama karpet merah yang dibentangkan ketika kekuasaan berjalan dan menuju singgasana kekuasaan, namun kemudian digulung ketika kekuasaan pergi entah karena apa.
Tak heran, jika di belahan bumi Timur ini, keperawanan akan selalu menjadi wacana, karena ia suatu nilai, suatu pegangan, suatu tanggung jawab yang diikat sebagai patron kehidupan bersama. Perempuan yang memilikinya tidak akan pernah bebas, tetapi akan selalu waspada dan terjaga bersama peradaban dan kehidupan yang mengalir sepanjang hayatnya. Lelaki dan kuasa di Timur diwajibkan untuk menghormatinya dan melindunginya, sebagaimana mereka harus menjaga keberlangsungan masa depan kekuasaan untuk kehidupan, seperti mereka menjaga ibu yang mengayomi jiwa dan kehidupannya.
Di Barat, ketika kaum konservatif terdesak oleh arus pertumbuhan ideologi kebebasan yang menumbuhkan filsafat eksistensialisme, keperawanan menjadi sebuah lelucon. Menjadi bahan kuis bersama feminisme yang bertumbuh. Laki-laki dan perempuan dapat hidup bebas dan menjelajah terhadap tubuh masing-masing asalkan bertanggung jawab terhadap pilihan perilakunya, begitulah mereka menyeru. Barat kemudian mengejek keperawanan sebagai sesuatu yang bulshit. Bisa jadi karena mereka iri dengan Timur yang justru solid dengan patron keperawanan yang masih dipegang teguh.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi kemudian mengangkat keperawanan pada ranah estetika. Selaput dara yang identik dengan keperawanan ternyata dapat terusak oleh beberapa hal tanpa sengaja, meski seberapa kuat pemiliknya menjaga sekaligus dapat dikembalikan dengan bantuan tekhnologi. Oleh karena itu tuntutan terhadap keperawanan makin dipertanyakan, untuk apa? Seberapa etis? Demi kepentingan apa? Dan lagi-lagi pembahasan untuk memojokkan salah satu gender mendominasi.
Menuntut test keperawanan kepada siswi yang akan masuk SMA, apalagi berupaya untuk membuat kebijakan terkait test keperawanan tersebut masuk dalam sistem pendidikan, bukanlah suatu langkah yang bijak. Akan tetapi wacana keperawanan yang dituntut ini dapat diibaratkan sebagai sebuah kunang-kunang yang kita rindukan kehadirannya karena populasinya musnah akibat tercemarnya lingkungan disekitar kita. Kembali kepada keperawanan sebagai patron kehidupan bersama seperti yang penulis jelaskan diatas. Seperti keperawanan hidup kita harus berjalan, yang kini orisinilitasnya dicuri dengar oleh peradaban Barat yang mengiri karenanya, dan berusaha untuk menghancurkannya dengan isme-isme mereka.
Kita dapat melihat kekuasaan disekitar republik kita yang dibangun dan dijalankan, dengan penuh tipu daya, menafikkan kejujuran, melupakan kehangatan, keramahan, kehangatan, kesucian makna kuasa, kesantunan, kesabaran, jauh dari kebaikan apalagi keberkahan, dari tingkatan kuasa yang paling atas sampai kebawah. Jangan-jangan tuntutan keperawanan itu adalah suara aspirasi tersamar untuk menuntut tidak hanya degradasi moral yang terjadi pada generasi muda perempuan, tetapi juga pada kekuasaan yang tengah berjalan dan dijalankan, serta alarm bahwa kekuasaan tersebut tengah menuju dalam kondisi kelanggengan dan ketangguhan yang dipertanyakan.
0 Komentar untuk "KEPERAWANAN YANG SELALU DITUNTUT"