Tulisan ini dimuat di koran harian Jambi ekspress, 22 Oktober 2013
Hajatan pesta demokrasi Indonesia untuk memilih
calon legislatif yang akan duduk di kursi lembaga perwakilan rakyat tingkat
pusat maupun daerah, dalam kurun periode lima tahun sekali dijadwalkan pada 9
April 2014. Jika dihitung dari sekarang, maka tinggal dalam hitungan bulan yang
dekat sekali. Pada kesempatan ini kita menyaksikan politikus lama dan baru dari
kelima belas partai politik kontestan pemilu berkompetisi, baik laki-laki
maupun perempuan.
Khusus
mengenai perempuan, diketahui bahwa hak-hak berpolitik perempuan dijamin dalam
beberapa konvensi yang diikuti oleh Indonesia sebagai negara peserta
penandatangan. Diantara konvensi tersebut adalah Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan atau yang lebih dikenal dengan CEDAW dan
merupakan satu kesatuan bagian dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM ) PBB. Disamping itu juga ada deklarasi Beijing Platform. Jika pada CEDAW hak berpolitik perempuan terdapat dalam
pasal 7, maka dalam Beijing Platform terdapat
dalam butir kesepakatan yang ke 7.
Konsekuensi
dari keikutsertaan Indonesia dalam penandatanganan konvensi dan deklarasi
tersebut jelas adalah, melaksanakan kewajiban untuk menjamin segala hak-hak
perempuan khususnya hak berpolitik perempuan yang tercantum dalam konvensi
maupun deklarasi. Termasuk kedalam itu adalah segera meratifikasi kedalam rezim
perundang-undangan setempat, dan menyediakan perangkat terkait demi
kesinambungan terjaminnya hak-hak perempuan tersebut.
Dalam
dua periode pemilihan umum di Indonesia sejak tahun 2009 , telah dibuatkan
kebijakan untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam bidang politik melalui
semangat untuk mengakomodir Affirmative
Action yaitu pembuatan perlakuan khusus sementara untuk menyamakan hasil
dan jika hasil sudah sama maka prosesnya baru disamakan, berupa tiga puluh persen
keterwakilan perempuan dalam pencalonan legislatif dan kepengurusan partai
politik, kedalam wujud produk perundang-undangan yang mengatur mengenai
Pemilihan Umum No. 15 Tahun 2011, Pemilihan Umum Legislatif No. 8 Tahun 2012,
dan Partai Politik No. 2 Tahun 2008 yang dirubah kedalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2011.
Terlepas
dari pro dan kontra syarat tiga puluh persen keterwakilan politik perempuan,
baik dari pandangan yang menganggap kebijakan tersebut justru melemahkan posisi
perempuan karena cenderung memanjakan perempuan atau malah hal tersebut
membatasi ruang gerak perempuan secara disengaja terstruktur dari kekuasaan,
karena hanya dalam proses pencalonan saja syarat tersebut diberlakukan, tetapi
dalam penempatan kursi dilegislatif perempuan masih harus berjuang
mendapatkannya dengan susah payah yang tak jarang mengalami penjegalan dari
kompetitor laki-laki, maka syarat tiga puluh persen keterwakilan tersebut
dianggap sebagai upaya setengah hati untuk mengakomodir Affirmatif Action. Penulis
punya beberapa pandangan akan hal tersebut.
Pertama,
syarat tiga puluh persen keterwakilan politik perempuan merupakan pintu untuk
membuka akses kesadaran berpolitik perempuan. Banyak perempuan di Indonesia
yang berpendidikan baik dan memiliki karir yang baik dibidang lainnya, tetapi
secara politik sebagian besar cenderung apatis. Padahal lingkaran kehidupan
mereka rentan tanpa jaminan jika menghadapi situasi genting yang sewaktu-waktu
dapat menimpa mereka dan berdampak kepada kelangsungan hidup diri juga
keluarganya serta sekitarnya. Pentingnya tiga puluh persen keterwakilan politik
perempuan ini, untuk membuka mata semua kaum perempuan, bahwa dalam timbunan
kewajiban kehidupannya ada hak berpolitik yang harus disadari diraih atau
diwakilkan kepada yang peduli terhadap kondisi perempuan terutama dari kaumnya
sendiri, demi keseimbangan kehidupan perempuan.
Kedua,
jika berbicara jumlah dalam berpolitik, perempuan masih terlalu dini
dibandingkan dengan laki-laki. Ditambah lagi, bahwa selama ini perempuan masih
kedalam naungan supra struktur partai politik yang cenderung menjadi hegemoni
laki-laki. Maka, syarat tiga puluh persen keterwakilan tersebut, dapat
dijadikan ajang menaikkan jumlah terlebih dahulu, terlepas sebagian tidak
menyetujui masalah jumlah ini yang seolah mengabaikan kualitas. Tapi menurut
penulis, kualitas bisa dibenahi seiring dengan kuantitas.
Dua
hal ini dapat dijadikan rujukan untuk mendirikan tangga darurat perempuan
dibidang politik. Mengingat tidak mudah menarik perempuan untuk berkecimpung
kedalam bidang politik karena beberapa pertimbangan meskipun perempuan tersebut
dibekali dinasti, modal dan jaringan, terutama sekali perempuan-perempuan yang
berada ditingkat grass root atau akar rumput, diantaranya adalah politik
merupakan medan yang sama sekali awam bagi perempuan terutama jika jejaring
perempuan masih lemah. Kerasnya medan politik kerap meletihkan perempuan untuk
mengikutinya, atau justru membuatnya menjadi pecundang dengan resiko dijauhi
dan dibenci oleh sesama kaumnya apalagi kaum laki-laki, dan yang paling
menyedihkan adalah keluarga, dalam hal ini
perempuan akan berdiri sendiri tanpa pertolongan. Berikutnya adalah
modal, perempuan tidak sama dengan politikus laki-laki yang royal dan loyal
terhadap modal, karena perempuan cenderung memprioritaskan kepentingan keluarga
terlebih dahulu ketimbang kepentingan lainnya atau dirinya.
Kelebihan
politikus perempuan dibanding politikus laki-laki adalah, lebih dekat dengan
permasalahan yang dihadapi oleh jumlah mata pilih perempuan yang potensial.
Seharusnya juga politikus perempuan lebih fokus mengangkat isu-isu perempuan
yang sama sekali atau jarang tergarap. Ini mengingat sekali lagi bahwa tujuan
keberadaan keterwakilan politik perempuan adalah untuk mendirikan tangga
darurat bagi kaum perempuan, harusnya politikus perempuan dan sesama kaum
perempuan sendiri terutama yang ada dalam posisi pemilih menyadari ini.
Disamping
itu, dengan adanya sistem politik yang menggunakan mekanisme pemilihan langsung,
untuk memilih wakil-wakil politik yang akan mewakili rakyat di lembaga
legislatif, juga merupakan kesempatan yang baik bagi perempuan untuk terjun
dibidang politik meraih hak berpolitiknya. Apalagi mekanisme ini didukung oleh
era pasar politik yang bebas, dimana pencitraan menjadi senjata utama dibanding
elektabilitas. Kesempatan ini dapat menjadi ajang bagi perempuan untuk berkompetisi
secara fair dengan laki-laki melalui
syarat tiga puluh persen keterwakilan politik perempuan. Tinggal bagaimana
perempuan mencitrakan dirinya secara politis sebagai wakil yang pantas
dipercaya untuk dipilih apalagi oleh sesama kaumnya. Dan kalaupun harus kalah
dalam berjuang, setidaknya perempuan sudah berjuang dengan penuh daya dan gugur
secara terhormat.
0 Komentar untuk "Politik Indonesia dan Peluang Bagi Perempuan"