Tulisan ini dimuat di Koran Harian Jambi Ekspress, 21 Desember 2013
Ibu
dalam kehidupan kita bukanlah sosok yang asing, karena kita sangat teramat
dekat dengannya. Didalam rahim ibu, kita
bersemayam dekat dengan detak jantungnya, oleh karena itu kita bisa mendapat
makna kehidupan untuk menatap dunia ketika terlahir. Tak pernah lepas kemudian,
ibu beserta segenap jiwa dan raganya memotivatori dan mengawal kita bertumbuh
sebagai manusia yang merupakan bagian dari manusia lainnya, bagian dari
pertumbuhan keluarga, masyarakat, bangsa dan juga negara.
Dalam kehidupan privat kita, ibu
mempunyai peran disetiap celah kehidupan. Sebagaimana memori ingatan kita yang
pertama kali dan utama dalam hidup ,kitapun menomersatukannya untuk
berkomunikasi, mengadu, curhat, berkeluh kesah, berdialog, meminta nasehat,
restu dan pendapat. Dibandingkan dengan ayah, tentunya itu semua lebih enjoy
dilakukan dengan ibu bukan? Meskipun kita tahu bahwa dalam struktur ruang yang
melampaui sisi privat kita, posisi ibu secara gender merupakan subordinat dari
ayah, juga dari kuasa yang berlaku di sosial kehidupan kita bersama.
Dari hal ini kemudian kita tahu,
bahwa ibu merupakan perwujudan bagaimana perempuan secara hirarkhis ditempatkan
dalam piramida kekuasaan budaya dan peradaban yang melingkupi kita. Sejauh apa
peran perempuan dan statusnya boleh diraih dalam piramida tersebut. Juga karena
apa perempuan diketahui, dikenal dan disapa, serta dihargai maupun diakui
kediriannya. Merunut kisah-kisah besar dalam peradaban timur kita, ibu adalah
sebuah identitas final dan paripurna bagi perempuan. Setiap perempuan hanya
punya cita-cita mulia, yaitu untuk menjadi seorang ibu. Maka untuk itu setiap
perempuan di peradaban timur, berlomba-lomba untuk mencapainya. Meskipun
tersubordinat, posisi ibu disamping ayah sangat menentukan harga diri ibu, juga
harga diri keluarganya, bahkan klan ataupun dinasti. Karena justru pada posisi
ini, ibu adalah penentu generasi seperti apa yang akan dilahirkannya, dan
strategi apa yang akan diterapkannya bagi kelangsungan keluarga, klan maupun
dinasti. Emosi-emosi ibu, kehendak, cita-cita, ambisi, tujuan, disalurkan
melalui upaya-upaya anak-anaknya yang digiring oleh strategi ibu, untuk meraih sesuatu,
menjadi sesuatu, menduduki sesuatu, melawan sesuatu.
Kita juga masih tidak bisa
menafikkan, bahwa meskipun subordinat ayah, posisi ibu disampingnya sebagai
pendamping adalah identitas yang saling melengkapi. Ibu akan dikenal
identitasnya karena ayah, dan identitas siapa ayah akan terlihat pada ibu.
Begitu juga penghargaan dan pengakuan masyarakat terhadapnya. Lebih daripada
itu, ibu beserta saran dan masukan terhadap peta strategi ayah dalam mewujudkan
eksistensinya diruang kuasa peradaban, turut dipertimbangkan meskipun kadang
tidak mendapat pengakuan bahwa ide orisinilnya berhasil memotivasi
langkah-langkah yang akan diambil ayah.
Oleh karena itu, keberhasilan ibu
dalam menerapkan strategi hidup kepada anak-anaknya adalah suatu harga diri
final sekaligus monumen dalam sejarah kehidupannya yang akan dipandang secara
berharga oleh masyarakat. Sebaliknya, jika gagal maka runtuhlah harga diri ibu
berikut monumen yang akan diharapkannya untuk dipandang oleh masyarakat sebagai
identitas kediriannya. Karena melalui jalan anak ini ibu bisa memasang standar,
pedoman , dan patokan siapa dirinya dan bagaimana peradaban harus mengakuinya.
Secara tidak sadar kita adalah
anak-anak yang membentuk peradaban dari spirit ibu. Berkebalikan dengan
piramida kekuasaan peradaban, dalam spirit ibu justru berada dipuncak,
membentuk falsafah kehidupan kita. Meskipun perannya hanya dihargai secara
domestik dalam kehidupan sosial, tapi ibu ketika telah ditempatkan dalam
falsafah kehidupan, adalah ideologi yang tidak pernah mati dan tergantikan
dalam peradaban. Ibuisme kita dalam ranah privat ini, berkembang menjadi
sesuatu yang memberdayakan kehidupan, mengalir dan bergulir bersama peradaban.
Tetapi ruang kekuasaan memahami hal
ini secara berbeda, meskipun tetap pada kesamaan bahwa ibu bagi ruang kekuasaan
juga sebuah ideologi. Pada puncak kehidupan tertinggi ruang kekuasaan yang
bernama negara, ibu tetap diberikan wadah dengan tujuan agar posisi
subordinatnya tetap langgeng, agar citra domestiknya tetap melekat, agar ibu
tidak menuntut banyak bagi ruang publik yang telah mulai terbuka pada ideologi
yang bernama ibu. Lebih daripada itu, ibuisme negara merupakan wujud bagaimana
kekuasaan mengontrol ruang gerak perempuan, spirit perempuan agar tidak menjadi
bola liar bagi kekuasaan.
Jika pada masa orde baru, ibuisme
diberi ruang pada organisasi kewanitaan pendamping profesi ayah, seperti PKK,
Dharmawanita, dan lain-lain. Pada masa kini setiap rezim yang telah dibantu
dengan agen-agen kapitalisme dan industri, serta selalu berupaya mendegradasi
pandangan kemanusiaan terhadap perempuan, dibarengi dengan segala program
pencitraan bersifat konsumsi massal berjiwa hedonis, ibuisme diwadahi dengan
seksama melalui pendekatan persuasif tiada henti. Wadah ibuisme negara yang
bersatu dengan rezim kapitalisme industri adalah dengan cara membuka ruang
sosialisasi sebanyak mungkin, sehingga ibuisme ada pada kedudukan puncak
sosialita kemasyarakatan.
Organisasi ibuisme ala orde baru
memang masih bertahan hingga kini, ragam organisasi sosialita yang disediakan
kekuasaan bagi ibu menambah daftar panjang bagaimana ibu harus berbuat dan
dicitrakan kepada masyarakat diera terbukanya ruang publik bagi perempuan.
Ruang sosialita itu sekaligus menjadi pedoman, begitulah sampainya nanti jika
ibu telah berhasil menduduki ruang publik. Gelamor, hedonis, punya banyak
relasi, punya kekuasaan (tetapi masih terkungkung pada afiliasi ayah), tak lupa
dampaknya adalah bagaimana keluarga dibawa ibu kepermukaan publik terlihat
bersatu, namun rapuh didalam karena berbagai aspek permasalahan sosiologis
ibuisme yang diwadahi kekuasaan diruang publik dan disediakan jaring
sosialisasi hingga puncak.
Selamat
hari ibu !
0 Komentar untuk "Ibuisme Kita, Ibuisme Negara"