Tulisan ini diterbitkan di Koran Harian Jambi Ekspress, 3 November 2013
Pada
tanggal 21 sampai dengan 24 November 2013 lalu, dihelat event akbar bertajuk International Confrence On Jambi Studies 1
(ICJS 1), bertempat di hotel Novita Jambi. Tampil sebagai pemakalah dan peserta
dari berbagai negara seperti, Inggris, Singapura, Swiss, Belanda, Amerika,
Bangladesh, dan lain-lain, disamping pemerhati dan peminat studi tentang Jambi
yang berasal dari lokal, seperti dari Jakarta, Jogjakarta, Sulawesi, dan
lain-lain.
Jalannya konfrensi dibagi menjadi
beberapa panel yang masing-masing panel mendiskusikan tema-tema studi dan
penelitian jambi, sepertihalnya masalah preservasi cagar budaya di Muara Jambi,
sejarah budha di Jambi, dinamika islam melayu di Jambi, Objek Material yang
menyusun kebudayaan Jambi, Entitas lokal di Jambi, Perubahan Sosial di Jambi,
dan lain-lain hingga sempat melakukan sejenis city Tour ke museum Siginjei
Jambi dan area percandian Muara Jambi. Bahkan diawal pembukaan tampil sebagai
pemakalah adalah John N Misic yang memaparkan urbanisasi pertama di tepian
sungai Batanghari Jambi, dan di penutup tampil Barbara Watson Andaya dari
Hawaii USA yang memaparkan makalah tentang bagaimana menempatkan Jambi dalam
skala lokal hingga global.
ICJS 1 yang merupakan hajat Dewan
Kesenian Jambi, memiliki arti penting bagi
Jambi. Hal ini sebagai upaya untuk membuka gerbang peradaban Jambi yang
selama ini masih banyak diselimuti misteri dan cenderung tidak banyak disimpan
dalam bentuk tertulis. Sebagai individu yang mendiami wilayah Jambi, penulis
merasa perlu tahu kebudayaan yang menyusun peradaban Jambi, akarnya,
dinamikanya. Disamping upaya Dewan
Kesenian Jambi dengan menerbitkan Jurnal Seloko yang juga berisi studi tentang
Jambi, ICJS 1 patut diapresiasi sebagai langkah elegan bagi masyarakat Jambi
untuk menoleh kepada isu-isu sosial dan budaya Jambi demi perkembangan
peradaban yang lebih maju.
Tidak mudah memang untuk membuka
misteri peradaban dimana budaya lisan cenderung menjadi sesuatu yang lebih
kental dan kentara, ketimbang budaya tertulis seperti halnya wilayah nusantara
lainnya yang lebih dahulu terkenal dan maju secara peradaban. Jambi termasuk
kedalam dimana peradabannya lebih kental disusun oleh budaya lisan.
Kesempatan adanya Jurnal Seloko dan
ICJS 1, sebaiknya dapat dijadikan sebagai langkah yang berkesinambungan untuk
mendokumentasikan budaya yang menyusun sistem peradaban masyarakat Jambi yang
kental oleh budaya lisan tersebut. Karena
sebenarnya Jambi merupakan peradaban yang unik sebagaimana halnya peradaban
wilayah nusantara lainnya. Ciri khas Jambi merupakan keunikan tersendiri dimana
bisa dilihat dalam letak geografisnya yang merupakan jalur tengah dalam jalan
perdagangan, transportasi antar wilayah, dan lain-lain, termasuk persinggahan
budaya dari berbagai etnis yang sempat menetap dan singgah ke Jambi.
Apa yang menjadi keunikan ini
terkuak dalam kesempatan ICJS 1. Terdapat fakta keragaman budaya yang menyusun
sistem peradaban masyarakat Jambi, dan itu juga tidak terlepas dari pengaruh
dinamika budaya dan perubahan sosial yang terjadi dalam wilayah nusantara
maupun antar negara. Dalam fakta lebih
nyata lagi kita dapat melihat tinggalan cagar budaya yang luar biasa berupa
kawasan percandian Muara Jambi, etnis Tionghoa yang menetap diwilayah Jambi,
etnis Kerinci di wilayah puncak Jambi, dan keberadaan pelabuhan sabak yang
sering disebut-sebut.
Geliat untuk menguak peradaban
kebudayaan Jambi memang begitu terasa akhir-akhir ini, dan ini didukung oleh
eksekutif tertinggi diwilayah Jambi. Selain isu-isu pelestarian cagar budaya di
Muara Jambi dan menginventarisir berbagai tradisi lokal di Jambi, yang paling
trend adalah upaya untuk menghidupkan kembali kesultanan di Jambi, ini juga
termasuk kedalam bagian panel diskusi ICJS 1. Kondisi pencarian identitas Jambi
ini tentunya memerlukan dukungan studi tertulis mengenai peradaban kebudayaan
Jambi
Pencarian
identitas Jambi memang sedang diupayakan jalannya pada jalur-jalur terdidik
yang lebih ilmiah agar Jambi dapat lebih dikenal oleh semua masyarakat yang
menghuni bumi ini, seperti pernah terkenalnya nama lain Jambi dimasa lampau
sebagai swarnabhumi. Tapi sayangnya penulis melihat, bahwa sangat sedikit
individu apa yang digaungkan dalam era otonomi daerah ini sebagai “putra
daerah” yang peduli terhadap isu-isu sosial dan kebudayaannya berada dalam
jalur ini. Seperti yang penulis lihat,
bahwa justru sebagian besar yang lebih tahu dan lebih memahami serta peduli
terhadap isu-isu sosial dan budaya Jambi dan berupaya membawanya dalam skala
nasional dan global, ternyata justru adalah orang asing diluar Jambi, yang jauh
diseberang benua, dan seberang pulau. Kalau tidak salah, penulis hanya
menemukan peneliti apalagi peserta “putra daerah” tersebut dalam event ICJS 1,
bisa dihitung dengan jari.
Disamping
itu yang perlu dijadikan catatan adalah, mengenai isu kemelayuan yang identik
dengan islam dan dianggap paling mendominasi dalam menyusun peradaban Jambi. Hal ini sangat mengemuka dalam jalannya konfrensi,
dan sempat menjadi obrolan hangat diantara peserta konfrensi. Memang saat ini
islam di Jambi yang identik dengan wajah melayunya menjadi mayoritas dan
mendominasi. Tetapi perlu juga ditilik kemasa lampau, apalagi dengan adanya
warisan cagar budaya candi Muara Jambi, bahwa beberapa peradaban budaya
menyusun dan memiliki pengaruh yang signifikan hingga kini masih dapat
ditelusuri geliat kehidupannya, dari keragaman yang ada, ada budha, Tionghoa,
dan etnis-etnis lain di Jambi yang berasal dari seluruh Nusantara, juga antar
negara. Setidaknya keragaman ini juga
dapat dijadikan fokus bagi ingin yang elajar dan meneliti tentang Jambi.
0 Komentar untuk "Membuka Gerbang Peradaban Masyarakat Jambi (Studi Tentang Jambi Dalam Konfrensi Internasional)"