Diterbitkan di Koran Harian Jambi Ekspress 21 November 2013
Indonesia
dalam kancah internasional telah berhasil menuai sanjungan sebagai negara yang
paling demokratis dalam melaksanakan hajatan demokrasi pemilihan umum pasca
reformasi hingga sekarang. Tetapi sanjungan tersebut didalam negeri berhadapan
dengan fakta, bahwa semakin kesini, pemilihan umum yang digelar diwarnai dengan
menurunnya tingkat partisipasi pemilih. Hal ini semakin kentara pada hajatan
pemilihan kepala daerah yang kerap digelar, dimana lebih dari separuh pemilih
tidak mempergunakan haknya untuk memberikan suara baik karena kesalahan tekhnis
atau pendataan, sengaja dengan berbagai ragam pertimbangan rasional untuk
memilih tidak mempergunakan hak memilih, sengaja bertindak agresif datang
sebagai pemilih tetapi pada faktanya ketika dibilik pemungutan suara melakukan
aksi perusakan surat suara.
Kondisi tersebut alhasil memunculkan
golongan putih atau golput sebagai pemenang disetiap hajatan pemilihan umum
atau pemilihan kepala daerah yang digelar.
Jika terus dibiarkan, kondisi ini akan mempengaruhi keseimbangan sistem
politik yang berjalan dalam kehidupan politik bersama. Golongan putih secara
langsung atau tidak, akan merongrong legitimasi kekuasaan yang bersandarkan
konsep pemujaan demokrasi.
Beberapa pihak berpendapat bahwa
penurunan partisipasi pemilih ditengarai karena menurunnya kadar kepercayaan
politik terhadap institusi politik. Kita tahu bersama bahwa akhir-akhir ini,
institusi politik terutama partai politik sebagai kendaraan utama pengusung
wakil rakyat dalam mekanisme sistem politik yang kita anut, cenderung melaju
tanpa kendali dan mengalami insiden amoral, cacat etika, korupsi dan lain-lain.
Disatu sisi pencitraan masif pada produk-produk politik semakin gencar, tetapi
hanya mampu menghadirkan kemasan bukan kedalaman serta harapan-harapan yang
tidak pernah sesuai dengan kenyataan, sehingga hal ini mengakibatkan kejenuhan
menghinggapi pemilih, sebagai konsumen produk politik yang dijajakan.
Ibarat produk barang senyatanya,
produk politik apakah itu calon legislatif atau eksekutif sekalipun adalah
permen politik yang dijajakan dalam sistem pemasaran massal politik. Permen ini
bervarian rasa ideologi, dan dibungkus sedemikian rupa dengan packaging kepentingan yang diembannya,
iklan politik kemudian menyambutnya untuk mempromosikan dari segi citra yang
akan dibentuk agar dapat ditangkap kesan dan pesannya secara singkat, dan
simpel oleh pemilih.
Tentunya selama ini, pemilih adalah
konsumen yang menjadi objek pemasaran permen politik tersebut. Sebagaimana
pemasaran barang dan jasa, pemasaran politik juga ternyata menjumpai kejenuhan
pasar bagi produk-produknya yang berupa penurunan partisipasi pemilih. Meskipun
berinovasi dengan menggelar cashback politik
yang semakin menggiurkan jumlahnya menjelang detik pemilihan umum, namun itu
tidak menjamin perolehan keuntungan mendulang suara, mengingat saat ini konsumen
politik tersebut punya pilihan sikap apatis dan pragmatis ketika menghadapi
permen politik yang disodorkan kepadanya.
Untuk itu diperlukan perubahan dalam
memperlakukan pemilih sebagai konsumen politik. Jika produk consumer good telah mengenal kiat pemasaran “tahu apa yang konsumen mau”, atau
“lebih dekat kepada konsumen”, maka tidak salahnya juga hal ini diterapkan
kepada manajemen pemasaran politik untuk menjajakan permen politik tersebut. Kiat
ini adalah upaya untuk mengenal pemilih lebih dalam, sehingga dapat diketahui
produk politik seperti apa yang paling diinginkan oleh konsumen politik selaku
pemilih.
Dalam upaya ini, pemilih
diperlakukan sebagai subjek yang berusaha untuk dikenali dan dimengerti
kemauannya seperti apa terhadap produksi permen politik yang akan diluncurkan
nanti menjelang pemilihan umum. Penelitian dan pengetahuan terhadap apa yang sedang
terjadi diarena pasar politik, dan permen politik yang seperti apa yang paling
dicari oleh konsumen politik perlu dilakukan. Ini juga demi target partai
politik untuk memenuhi ambang batas pemenuhan kuota suara. Sehingga, partai
politik meskipun susah untuk diharapkan berubah dalam waktu dekat, setidaknya dapat
mengubah produk politiknya yang sesuai dengan apa yang dimaui oleh pemilih.
Kiat ini memang memerlukan proses
dan energi yang tidak seinstan jika pemilih seperti selama ini diperlakukan
sebagai objek yang telah siap berhadapan dengan produk politik. Tetapi
setidaknya dapat memberikan dampak pada pemberdayaan pemilih secara tidak
langsung untuk mengarahkan perilaku mereka kepada kesadaran nalar berpolitik.
Karena dari penggalian terhadap apa yang diinginkan, dimaui, dan dibutuhkan
mereka terhadap produk politik yang akan diluncurkan, akan diketahui sejauh
mana perspektif kesadaran berpolitik mereka, dan upaya-upaya apa yang dapat
diambil untuk mengatasi kejenuhan mereka. Disamping itu juga, meskipun dalam
tataran industri massal politik yang cenderung sama seperti selama ini, dapat
memunculkan produk politik yang unik, bervariatif, dan selalu baru, dengan
mengikuti logika berpikir pemilih selaku konsumen politik terhadap situasi dan
kondisi politik yang terjadi.
Pada akhirnya, sebagaimana produk
barang dan jasa senyatanya, yang kini banyak berpegang kepada selera konsumen,
mengapa tidak jika pada industri massal politik juga menerapkan kiat yang sama.
Fenomena jokowi yang paling seru, dapat dilihat sebagai contoh, bahwa dalam
aspek tertentu, konsumen politik cenderung mengalihkan seleranya kepada produk
politik yang selama ini terkesan sama dan tidak punya keunikan karena
diproduksi secara massa. Kedepan jika kiat ini dipertimbangkan untuk mengambil
simpati pemilih, kita akan melihat, akan muncul produk atau permen politik
seperti apa lagi dari segi packaging
dan inovasi rasanya.
0 Komentar untuk "Kiat Baru Menjajakan Permen Politik"