Tulisan ini diterbitkan di Koran Harian Jambi Ekspress, 14 Desember 2013
Isu-isu Hak Asasi Manusia (HAM), dalam implementasi dan konsep,
berderap melewati jaman reformasi sampai kini. Banyak kajian disajikan
untuk membahas HAM, banyak manuver diupayakan untuk menghindari sebuah
lubang yang dinamakan HAM dijalan pemerintahan yang harus menuju
demokratis. Semua orang tentunya di jaman ini fasih berbicara HAM.
Kita mengenal HAM yang telah dirumuskan secara
universal dan dijajakan keliling kepada seluruh penghuni bumi. Dalam
pada itu, konsep HAM mengacu untuk menyeragamkan bahwa kita semua
penduduk bumi ini punya hak asasi yang sama, punya kesamaan untuk haus
individualitas berdasarkan HAM universal tersebut, tidak peduli darimana
kita berasal dan dibentuk secara pribadi. HAM dalam tataran ini
kemudian bergerak liberal, sehingga mengundang pertanyaan dan wacana
kritis bagi peradaban timur yang dipenuhi oleh komunitas adat dan
budaya. Sebab terkadang, atas nama HAM yang universal tersebut,
komunitas-komunitas adat dan budaya ini diberangus untuk mengalah kepada
kehidupan yang universal dan dianggap jauh lebih beradab.
Tuhan memang memberikan kita hak asasi sejak kita
terbentuk didalam kandungan. Tetapi kemudian kita harus turun kedalam
lingkungan sosial kita, dan ini akhirnya membentuk makna mengenai konsep
hak asasi secara tersendiri berdasarkan lingkungan sosial kita tinggal,
secara adat dan budaya yang jelas berbeda dengan makna dan konsep hak
asasi adat dan budaya tetangga sebelah, apalagi yang diseberang lautan.
Namun demikian perbedaan makna dan konsep inilah yang justru ketika
terjadi perjumpaan harus dihargai dan dipahami sebagai garis demarkasi
keutuhan kita sebagai manusia yang menghargai manusia lain, yang
membutuhkan manusia lain, yang tidak akan pernah bisa hidup nyaman
ketika kita hidup diatas penderitaan manusia lain.
Di Jambi kita mengenal komunitas adat yang kini
terkenal dengan sebutan orang rimba, dan baru-baru ini di filmkan secara
nasional. Keberadaan orang rimba merupakan suatu bukti peninggalan
klasik benturan antara masyarakat nomaden dengan petani. Sejak dulu
benturan ini tidak dapat dihindarkan dan merupakan fenomena tersendiri
dalam ruang peradaban. Filosophi masyarakat nomaden dalam memandang
keselarasan hidup dengan alam, terdesak oleh filosophi masyarakat petani
dalam mengembangkan kehidupan berskala modern dan mereka klaim lebih
beradab dan kini tergila-gila dengan slogan kebebasan indvidu .
Peradaban yang diklaim secara modern dan lebih paham
soal HAM ini, terus melakukan desakan kepada komunitas masyarakat
nomaden orang rimba agar orang rimba dapat hidup sesuai dengan peradaban
yang telah dikonstruksikan secara universal modern tersebut. Orang
rimba dipaksa untuk menyesuaikan diri demi pemenuhan kebutuhan peradaban
yang lebih modern, kayu-kayu di hutan mereka ditebangi, hasil hutan
mereka dijarah dengan paksa, batas-batas hutan tempat komunitas orang
rimba bermukim dilanggar demi desakan kebutuhan pemukiman dan pertanian,
perkebunan. Lucunya, mereka juga dijadikan sasaran untuk mendukung
legitimasi kekuasaan. Berbagai program pemerintahan modern dikenakan
kepada mereka, dukungan suara mereka sebagian diperlukan dalam
pembentukan legitimasi modern. Orang rimba hanya mengalah, menurut
karena paham bahwa mereka terkait dengan sistem luar komunitas mereka
yang memegang peranan terhadap tuntutan komunitas mereka.
Jika HAM bagi peradaban modern yang diagung-agungkan
itu merupakan totem yang sangat dipuja, dan semua pihak yang mengklaim
diri beradab dalam cara-cara modern tersebut berupaya menjaganya
sekeramat mungkin. Bagaimana dapat kemudian totem tersebut dilumuri oleh
cara-cara otoriter untuk menafikkan keberadaan yang beragam dari
peradaban lain yang seharusnya dapat dimaknai sebagai sesuatu yang harus
dipahami demi keselarasan hidup bersama.
Sebagian orang rimba memang kemudian meletakkan
konsekuensi terhadap perubahan dengan memilih untuk rela di
“beradab”kan, atau memilih mempertahankan komunitasnya dengan sekuat
tenaga, melalui sisa-sisa perjuangan hak-hak asasi mereka yang harus
ditegakkan dimata peradaban modern yang telah paham dengan berbagai
teori HAM dan demokrasi.
Orang rimba sebagai komunitas adat kini menuntut
hak-haknya untuk dapat hidup layak secara komunitasnya. Celakanya
tuntutan itu harus disampaikan menurut cara-cara yang hanya dapat
dipahami oleh peradaban modern masyarakat diluarnya yang telah dengan
berani mendesakkan kepentingan individunya atas nama HAM. Untuk
mendapatkan kembali hak-haknya tersebut, orang rimba harus belajar
dengan keras, dan memahami dengan kuat apa yang dimaui oleh peradaban
modern yang telah menetap dan mengklaim lebih beradab tersebut.
Sementara itu orang-orang modern yang beradab dan paham sangat akan HAM
ini, sedikit peduli untuk paham terhadap hak-hak orang rimba dan
cara-cara orang rimba, yang harusnya mereka tenggang untuk tegaknya
kemanusiaan.
Belajar kepada orang rimba, bahwa sejatinya HAM yang
berlaku universal itu perlu dikaji ulang, bahwa ada hak asasi komunitas
yang mempunyai persepsi dan makna berbeda dalam memandang eksistensi
kemanusiaan, begitu juga dengan lingkungan budaya dan adat kita dalam
memaknai hak asasi kemanusiaan. Apakah ketika kehidupan nomaden telah
punah berganti wajah menjadi peradaban yang menetap, berbudaya sama
dengan manusia modern yang hanya mengenal hutan beton dan labirinnya
serta tekhnologi manipulatif, kita dapat dengan puas merasa menjadi
manusia seutuhnya?
0 Komentar untuk "Universalisme HAM vs Komunitas"