Tulisan ini dimuat di Koran Harian Jambi Independent, 24 Januari 2014
Baru-baru
ini, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang sekarang lekat dengan kepemimpinan
Muhaimin Iskandar, memajang Rusdi Kirana boss Lion Air sebagai calon
legislatifnya. Konon, Rusdi Kirana mengaku juga tertarik dengan PKB karena
mengidolakan sosok Gusdur pendiri PKB. Hal ini kemudian memicu ketidaksukaan
dari pihak keluarga Gusdur yang saat ini memilih untuk mengalihkan dukungannya
pada Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pihak keluarga Gusdur mengeluarkan
pernyataan bahwa Gusdur sendiri mewasiatkan, partai selain PKB boleh
menggunakan gambar maupun nama dirinya, maka dari itu PKB apalagi Rusdi Kirana
dilarang untuk membawa-bawa nama Gusdur dalam kiprah politiknya.
Banyak pihak kemudian juga bertanya,
apa kepentingan Rusdi Kirana sendiri maupun PKB untuk melakukan join politik.
PKB mengklaim bahwa bergabungnya Rusdi Kirana dengan partainya merupakan satu
bentuk bahwa PKB juga peduli dengan pluralisme. Tetapi alih-alih demikian,
media juga pengamat politik menyorotinya
sebagai hal yang lain daripada isu mengangkat pluralisme. The Jakarta post
misalnya, menyebut apa yang dilakukan PKB dengan menggandeng Rusdi Kirana
adalah suatu bentuk Gimmick politik.
Gimmick
merupakan kata yang tidak asing bagi dunia pemasaran maupun sulap. Dalam
dunia sulap, gimmick adalah suatu trik tipuan untuk mengalihkan
perhatian. Maka tidak jauh berbeda dalam dunia pemasaran, gimmick sebagai upaya memasarkan produk barang maupun jasa supaya
dapat menarik konsumen dan mengelabui fakta yang sebenarnya tentang suatu
produk. Konsumen teralihkan kesadaran dan perhatiannya pada wadah, bungkus
suatu produk, atau bonus-bonus tambahan, potongan harga, dan lain-lain, dan
tidak menyadari fungsi, maupun kualitas produk sebenarnya.
Sepertinya gimmick juga mulai berlaku dalam dunia politik, itu disebut gimmick politik. Kitapun sebenarnya
tanpa sadar berhadapan dengan bentuk-bentuk gimmick politik, apalagi menjelang hajatan pemilu 2014
ini digelar. Kasus biskuit dari Kemenkes yang menampilkan pesan dan gambar
seorang calon legislatif dari PKS, misalnya, adalah suatu gimmick politik yang lucu. Dimusim bencana alam banjir, itu
merupakan gimmick politik yang telah
diberikan oleh alam kepada calon legislatif. Mereka tinggal mengkreasikannya
sedemikian rupa, melalui kunjungan, aksi keprihatinan, bantuan, dan lain-lain.
Ikon pluralis sebagai gimmick politik yang dicoba oleh PKB
maupun partai Islam lainnya, baik dalam bentuk memajang calon legislatif, eksekutif,
atau berusaha menarik simpatisan maupun kader yang bukan dari orang Islam, dapat
dipandang sebagai upaya untuk mengalihkan urgensi keberadaan ikon tersebut
dalam partai. Kebanyakan ikon pluralis tersebut disamping memang bukan beragama
Islam, tetapi memiliki kekuatan finansial yang memadai, oleh karena kekuatan
finansialnya tersebut, ikon ini menguasai sumber-sumber lainnya yang dapat
disumbangkan bagi kepentingan partai yang pada akhirnya juga akan sehati dengan
kepentingan sang ikon. Jarang ditemui bahwa ikon pluralis yang digandeng oleh
partai Islam, dalam kategori untuk calon legislatif, maupun sekedar simpatisan,
ataupun kader rekrutan, yang tidak memiliki kekuatan kapital ini. Tidak dapat
dipungkiri juga bahwa diera pasar bebas politik saat ini, kekuatan dan dukungan
kapital ini sangat menentukan eksistensi partai kedalam maupun keluar, juga
dihari-hari depannya.
Jika memang partai Islam ingin
menampilkan wajah pluralis kepada masyarakat, sebenarnya, apakah perlu dengan
jalan menampilkan ikon pluralis untuk dipajang oleh partainya?. Dalam pemahaman
penulis, konsep pluralisme berbeda dengan hanya sekedar berdampingan pada
sesuatu yang berbeda, atau sekedar rukun pada sesuatu yang berbeda. Kita di
Indonesia, telah ribuan tahun hidup berdampingan pada sesuatu yang berbeda,
apakah suku, agama, ras, budaya, dan lain-lain. Tetapi apakah hal tersebut
menjamin bahwa satu sama lain dapat memahami perbedaan tersebut bukan sebagai
sesuatu yang terpisah dan asing?, menjamin bahwa ketika perbedaan tersebut
kadangkala menemukan suatu kondisi yang berhadapan wajah satu sama lain dapat
didudukkan dalam kerangka dialog, konsensus? Perbedaan kita dengan banyak
ragamnya di Indonesia memang tampak rukun, setidaknya itu suatu citra yang
ingin ditampakkan. Tetapi apakah kerukunan tersebut didasarnya dipasang dalam
fondasi pemahaman yang sepatutnya, sebagaimana Tuhan menciptakan perbedaan
tersebut untuk suatu tempat saling mempelajari bahwa kita tidak bisa terlepas
dari saling keterkaitan karena fitrah kita yang berbeda. Bayangkan kalau semua
kita di dunia ini sama, tentunya apa hal yang dapat kita kaitkan dan kita
pelajari dari kesamaan tersebut.
Penghargaan terhadap pluralisme yang
didalamnya juga terkait dengan toleransi, nampaknya masih banyak hal yang perlu
dipelajari dan dipahami oleh kita di Indonesia. Ada beberapa partai Islam
peserta pemilu 2014, sebut saja itu selain PKB adalah Partai Keadilan Sejahtera
(PKS), Partai Bulan-Bintang (PBB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), selain
PPP yang mengklaim bahwa tidak pernah memasukkan kader, calon yang diusung
bukan dari orang Islam demi menjaga konsekuensi terhadap azas ke-Islamannya,
partai Islam lainnya sudah sering dijumpai berusaha merangkul kader, simpatisan
dan calon yang diusung bukan dari orang Islam. Seperti yang telah disebutkan
dimuka, upaya merangkul kepada yang bukan Islam, mereka klaim sebagai suatu
bentuk cerminan bahwa partai Islam ingin menampilkan sisi yang terbuka,
toleransi, peduli terhadap isu-isu pluralisme. Langkah inipun ditiru oleh organisasi Islam, maupun gerakan
massa Islam yang tersebar di seluruh Indonesia dan merupakan basis massa serta
dukungan partai Islam. Pada faktanya, justru kita temui banyak contoh kasus
sepanjang 2013 kemarin terutama, isu-isu penghargaan terhadap pluralisme
khususnya toleransi terhadap perbedaan keyakinan, justru menunjukkan taraf yang
mengkhawatirkan dan kritis pada masyarakat Indonesia, jika terutama sekali hal
ini dibiarkan berlarut-larut kedepan. Sepengetahuan penulis, belum ada satu
partai Islampun yang mampu memberikan solusi pemecahan masalah intoleransi
perbedaan keyakinan yang semakin parah ini.
Ada banyak cara yang lebih mulia
bagi partai Islam jika ingin menampilkan wajah pluralisnya, tanpa harus
memajang ikon pluralis. Islam sendiri penulis yakini sebagai agama yang
memahami fitrah perbedaan dan keragaman yang diberikan oleh Tuhan. Ketika umat
islam telah menuju taraf berpolitik, bermuamalah demi kemashlahatan bersama,
tentunya tidak diekslusifkan hanya bagi kepentingan umat Islam sendiri, ini
dapat dicontoh dari teladan Rasulullah Muhammad S.A.W. Dalam hal ini partai
Islam dapat saja bergerak menyebarkan semangat pluralisme tersebut kedalam
bentuk yang nyata menuangkan program-program kerja yang terkait dengan
fungsinya sebagai partai politik, mengusung aspirasi kebijakan, bergerak dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan, dimana manfaat dan pengaruhnya dapat dirasakan
secara nyata menyentuh kepentingan semua golongan dan kaum demi terciptanya
keadilan dan kesejahteraan manusia yang hakiki.
0 Komentar untuk "Ikon Pluralis Partai Islam, Perlukah?"