Tulisan ini dimuat di Koran Harian Jambi Ekspress, 11 Januari 2014
Pada puncak HUT ke-57 Provinsi Jambi, tepatnya pada malam hari 6 Januari
2014 bertempat di Abadi Convention Center, dihelat pagelaran budaya
yang bertajuk “Keagungan Melayu Jambi, Spiritualitas Swarnamelayu”. Even
pagelaran ini merupakan hajatan dari Dewan Kesenian Jambi (DKJ) setiap
tahunnya pada HUT Provinsi Jambi. Ini adalah Even yang ke-tiga pagelaran
serupa dihelat sejak tahun 2012.
Jika pada even yang pertama kalinya digelar, seni yang ditampilkannya
merupakan refleksi keunikan budaya yang menyusun Jambi, dulunya terkenal
dengan nama Swarnabhumi sebagai pusat kebudayaan melayu kuno di Jambi
dengan pengaruh Budha sebagai pusat pembelajaran tentangnya yang juga
terkenal hingga kedunia Internasional, sekaligus wilayah strategis
pendirian dan perebutan tahta kekuasaan yang mengalir dari Palembang dan
pulau Jawa, lebih penting dari itu adalah dikenal dan berhubungan
dengan seluruh nusantara hingga keluarnegeri.
Maka, dalam rangka menampilkan dan memperkenalkan keunikan budaya Jambi
dimata masyarakat Jambi, nasional, Internasional, DKJ mewadahi
dokumentasi keunikan budaya tersebut dalam bentuk pagelaran budaya
dengan menampilkan seni tradisi Jambi yang hampir punah sekaligus dengan
maestro penciptanya yang hingga kini masih eksis mempertahankan seni
tradisi tersebut sebagai keunikan Jambi dengan keagungan dan keluhuran
budayanya yang tak kalah dengan daerah lain yang lebih dahulu terkenal
di nusantara.
Keunikan ini membuka mata setiap penonton dalam pagelaran tersebut,
bahwa ada banyak ragam tradisi yang diwadahi dalam seni budaya
merefleksikan bagaimana peradaban kebudayaan Jambi terbentuk, kehidupan
sosialnya, falsafah hidupnya, cara, makna dan simbol kehidupan yang
menyusun kebudayaan tersebut, kesemuanya itu merupakan sesuatu akar
identitas bagi masyarakat Jambi untuk digali, dikembangkan dan
dipertahankan bagi kebanggaan bersama sebagai masyarakat Jambi.
Pada kesempatan tersebut, kita disuguhi tampilan seni Krinok untuk yang
pertamakalinya langsung dari maestro, juga tari ritual Marcok dari
kerinci dengan media piring, tari Kipas, Tari lilin, Serampang Duabelas,
Lukah Gilo, dan masih banyak lagi, yang dari awal pertunjukkan hingga
akhir membuat kita berdecak kagum menyadari bahwa ini baru sebagian dari
keunikan budaya Jambi yang patut dibanggakan sebagai identitas.
Pada even kedua, DKJ hanya menyuguhi pertunjukkan dengan fokus kepada
musik dan vokal, dimana Krinok masih tetap menjadi bagiannya, dan
beberapa musik tradisi yang mencoba dikawinkan dengan musik modern Jazz,
kurang dan lebih pagelaran kedua ini tidak seberapa dapat dinikmati
entah karena persiapan pertunjukkannya yang memang terkesan belum
matang, atau konsepnya yang tidak seberapa mengena.
Baru pada even pagelaran yang ke-tiga kalinya ini, DKJ memberikan
kejutan baru mengemas pagelaran budaya dengan apik sepertihalnya pada
even yang pertama. Selain temanya mengenai “Spiritual Melayu”, juga kali
ini DKJ mendokumentasikan penghargaan kepada pelaku seni budaya di
Jambi dalam bentuk Anugerah Gong Bertuah, kali pertama penghargaan ini
terlepas dari kontroversinya diberikan kepada Iskandar Zakaria sebagai
pelaku seni tari di Jambi, yang telah malang melintang dengan puluhan
karyanya termasuk salah satunya Marcok dari Kerinci (dimana penari yang
berjumlah lebih dari satu orang, menari diatas pecahan kaca piring,
dengan melibatkan sedikit unsur magis), juga Mandi Air Masin dari
Tanjung Jabung Timur yang merupakan salah satu karyanya pada even
pagelaran budaya ketiga ini, masih sama melibatkan unsur magis yang
mencerminkan masyarakat pesisir Tanjung Jabung Timur untuk mensucikan
diri, penyembuhan, dan ritual yang berhubungan dengan ruh, dengan Yang
Maha Esa.
Begitulah, mengapa pagelaran ketiga ini bertajuk Spiritual Melayu,
penulis rasa DKJ ingin menunjukkan bahwa seni pada masyarakat Jambi,
bukan hanya seni yang sekedar seni untuk dinikmati semata, tetapi
bagaimana seni yang hidup di masyarakat Jambi merefleksikan unsur budaya
masyarakatnya, dalam hal ini juga bagaimana masyarakat Jambi memaknai
spiritualitas diri dan kehidupannya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang
menghuni bumi. Mengucap sukur, meminta berkat, pertolongan, mengadu,
mengagungkan Ketuhanan Yang Maha Esa, setiap masyarakat dengan
kebudayaannya punya beragam cara untuk mengekspresikannya, salah satunya
melalui seni. Inilah makna keberagaman yang harus dihargai oleh semua
manusia sebagai sesama ciptaan Tuhan, dan ini tidak bisa dihapuskan atas
nama apapun. Karena ini merupakan bentuk identitas budaya dan hak
setiap manusia yang menghuni ruang budaya dan perjumpaannya dengan
manusia lain, dengan Tuhan yang harus direfleksikan kembali dalam
kehidupan sehari-harinya sesuai dengan apa yang ditangkap dalam makna
dirinya, dan ini juga tidak bisa dipaksakan untuk dirubah mengikuti cara
tertentu yang cenderung menyeragamkan.
Citra budaya melayu yang identik dengan Islam di Jambi memang lebih
dominan sejak keruntuhan peradaban melayu kuno yang lebih dominan dengan
Budha. Inilah yang terakhir membentuk peradaban kebudayaan Jambi, juga
bagaimana seni budaya merefleksikannya sebagai spirit kehidupan
masyarakat Jambi. Namun hal ini tidak berarti menghapus sama sekali akar
budaya yang ada. Untuk itu, kita dapat menyaksikan dalam pagelaran
budaya ketiga ini, bagaimana Suku Anak Dalam memanjatkan mantranya
kepada sang pencipta ketika meminta berkah, pertolongan dan karunia.
Kita juga menyaksikan Sekapur Sirih sebagai wujud persembahan rasa
syukur masyarakat melayu Jambi, Mandi Air Masin dengan media dupa dan
ritual leluhur untuk memohon pertolongan, pengobatan, penyucian diri,
Krinok yang kini diakui sebagai warisan kebudayaan nasional merupakan
wujud menyenandungkan doa, harapan, duka-cita kepada Yang Maha Esa, dan
yang tak kalah menariknya, sebagai pamungkas DKJ mempersembahkan Sike
Sufi dari Kerinci, dimana zikir dinyanyikan dan ditarikan seperti tarian
sufi Whirling Dervis yang terkenal di Turki sebagai bentuk mengagungkan
Tuhan Yang Maha Esa.
Akhir kata, penulis melihat bahwa identitas kemelayuan Jambi yang
direfleksikan dalam seni budaya sebagai spiritualitas kehidupan sosial
bersama, punya unsur keragaman cara dan makna untuk dihargai sebagai
spirit bersama yang tak perlu dikoyak dan dirusak untuk diseragamkan
menurut cara tertentu, tapi ini perlu dipertahankan dan dikembangkan
sebagai identitas budaya melayu yang agung dan luhur, menghargai
keragaman, toleransi.
0 Komentar untuk "Refleksi Spiritual Keagungan Melayu Jambi Pada Seni Budaya "