Tulisan ini dimuat di Harian Jambi Ekspress, 18 Februari 2014
Menarik
sekali ketika menjelang dua bulan lagi pelaksanaan hajatan pesta demokrasi
pemilihan umum 9 April 2014 digelar, kegaduhan politik di Indonesia ditambah dengan
gaduhnya masalah dana saksi. Rencananya pemerintah akan menggelontorkan uang
sebesar tak kurang dari Rp.700 milyar diambil dari APBN untuk membiayai para
saksi dari 15 partai politik yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Jumlah
yang fantastis, dan sebuah isu kebijakan yang sangat mencengangkan bagi penulis.
Memang, ditataran fakta lapangan,
sejak awal bermula pemilihan umum pasca reformasi digelar sebebas-bebasnya,
sedemokratisnya, keluhan dari partai politik apalagi calon legislatifnya adalah
mengenai biaya untuk membayar para saksi. Keberadaan saksi bagi partai politik
dan calon legislatifnya, menjadi sebuah dilema. Disatu sisi saksi amat diperlukan untuk
mengawal perolehan suara partai politik dan calon legislatifnya, disisi lain
biaya untuk membayar para saksi menjadi masalah yang lebih penting lagi jika
tidak ingin dipecundangi oleh saingan politiknya.
Di lapangan ketika pemilihan umum
berjalan, keberadaan saksi berbayar dengan berbagai tarif menentukan sekali
bagi benteng perolehan suara yang terkumpul. Tidak bisa membayar saksi, atau
tidak bisa membayarnya lebih tinggi dari saingan politiknya berarti benteng
perolehan suara sebuah partai politik dan calon legislatifnya lemah dan harus
berhadapan dengan kondisi yang penuh manipulasi lewat keberadaan saksi. Maka,
selain kampanye, partai politik apalagi calon legislatif ketersediaan
finansialnya terkuras sampai titik darah penghabisan untuk membiayai saksi di
tiap TPS. Tak jarang untuk biaya saksi terkadang lebih jor-joran daripada biaya
kampanye, dan itupun masih harus menanggung resiko saksi yang membelot.
Permasalahan biaya bagi saksi yang
akan mengawal perolehan suara di tiap Tempat Pemungutan Suara (TPS) dalam
pemilihan umum di Indonesia, setidaknya menampilkan wajah sesungguhnya demokrasi
yang dibilang berbiaya tinggi itu. Partai politik telah menyiapkan sebagian
kemampuan finansialnya untuk membiayai saksi, tetapi tidak akan cukup bila
tidak ditopang dari iuran dengan para calon legislatifnya, atau dengan
sponsorship politiknya. Tetapi biasanya, para sponsorship ini agak sedikit
keberatan mengenai uang yang harus disumbangkan untuk membiayai saksi, karena
mereka biasanya lebih memilih dengan mudah untuk mendukung biaya kampanye, atau
untuk biaya sarana-prasarana.
Tidak heran jika kemudian ketika
wacana pengucuran anggaran pemerintah pusat yang fantastis itu bagi pembiayaan
para saksi, disambut antusias oleh beberapa partai politik, terutama partai
politik yang tengah mengalami kembang-kempis keuangan. Wacana ini juga bermula
dari usulan partai politik di komisi II DPR kepada pemerintah melalui menteri
keuangan dan menteri dalam negeri. Namun disamping sebagian partai politik
antusias menyambut keberadaan dana saksi ini, beberapa partai politik
menolaknya, seperti PDI –Perjuangan, dan Nasional Demokrat.
Rencana dana saksi yang akan
diserahkan tanggung jawab pengelolaannya kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
ini pun diwarnai aksi saling tolak antara Komisi Pemilihan Umum dan Bawaslu. Alasan
kedua badan ini memang cukup rasional, bahwa mereka belum siap dikenai
tanggung jawab mengelola anggaran pemerintah yang terkesan siluman dan ilegal
dari sisi perundangan keuangan negara ini. Memang, jika penulis lihat, ada
nuansa politik dalam upaya mengucurkan dana saksi yang bersumber dari APBN ini.
Secara penganggaran, dana saksi tidak mempunyai payung hukum atau sumber
legalitas yang jelas, juga bagaimanakah logikanya sebuah penganggaran keuangan
negara disahkan terlebih dahulu baru kemudian dicarikan payung hukumnya.
Pemerintah mengklaim bahwa wacana
pengucuran dana saksi tersebut sebagai upaya menganulir praktek kecurangan,
konflik, dan terkumpulnya sumber dana tidak jelas pada partai politik.
Disediakannya dana saksi oleh pemerintah, dengan pertimbangan bahwa partai
politik tinggal fokus menghadapi jalannya pemilihan umum di lapangan dan tidak
dipusingkan dengan dana bagi saksi di tiap TPS, juga tidak ada lagi partai
politik yang merasa terkucil karena minimnya alokasi dipartainya untuk
membiayai saksi.
Jika dilihat sepintas, dari kegaduhan
dana saksi ini, wajah demokrasi yang berbiaya tinggi itu, seolah hanya
mengumpulkan masalah uang. Bagaimana uang dijalankan secara politik dalam
sistem demokrasi dari titik awal memperoleh legitimasi hingga titik-titik
menjalankan legitimasi yang telah diperoleh. Dalam garis persinggungannya
kemudian, karena masalah legitimasi yang berhubungan dengan manusia sebagai
subjek yang menjalankannya, tentunya banyak timbul permasalahan, apakah itu
permasalahan sosial, kemanusiaan, ekonomi, budaya, politik dan lain-lainnya.
Permasalahan-permasalahan itu dengan mudah disimpulkan, karena uang!. Maka dari
itupun penyelesaiannya harus dengan uang!.
Kecurangan di TPS, membelotnya saksi
yang tidak berbayar, atau saksi yang tidak dibayar lebih tinggi dari saksi
lainnya, partai politik yang kedodoran dalam segi manajemen keuangan, seolah
hanya dapat diselesaikan dengan satu hal, menyediakan anggaran yang menyedot
APBN dan yang seharusnya akan lebih baik bila dianggarkan bagi prioritas lain
ditengah bencana yang mengepung negeri ini, kemiskinan yang belum teratasi,
kelaparan dan gizi buruk yang belum terpecahkan solusinya, pendidikan yang
harus mendapat perhatian hingga kepelosok, sarana-prasarana rakyat yang
memadai, dan lain-lain.
Dapatkah kita bersama-sama melihat
mengenai saksi dan kedudukannya serta permasalahannya ini, misalnya, bahwa itu
bukan masalah uang semata, tetapi bagaimana peran konstituen yang cerdas tidak
hanya menyalurkan hak pilihnya semata, tetapi juga ikut mengawal jalannya
pemilu dan suara yang diberikannya, tidak hanya dengan sesama konstituen tetapi
juga bahu membahu dengan stakeholder lainnya yang berkepentingan menciptakan
sistem politik yang baik (apakah itu lembaga maupun prosesnya), berkeadilan,
bersih dan berwibawa demi tatanan negara yang baik, juga terutama dengan civil society yang berada ditengah
membangunkan keberdayaan konstituen berhadapan dengan masalah politik.
Sayangnya, jika kemudian segala
permasalahan terburu diselesaikan dengan uang di era demokrasi yang jargonnya
memberadabkan ini, kita menjadi lupa bahwa manusia adalah subjek dalam sistem
politik yang menciptakannya, menentukan, mengatur, dan mengendalikannya. Tetapi
kita sudah terlanjur tersihir oleh wajah demokrasi berbiaya tinggi itu, uang
adalah suatu permasalahan sekaligus juga cara menyelesaikannya.
0 Komentar untuk "Demokrasi Uang"