Tulisan ini dimuat di Koran Harian Jambi Ekspress, 13 Februari 2014
Etnis
Tionghoa bukan merupakan etnis yang asing di Indonesia. Melalui jalur
perniagaan, leluhur etnis Tionghoa di Indonesia telah melakukan imigrasi sejak
ribuan tahun yang lalu, dan itu dilakukan secara bergelombang. Kini pasca
reformasi, Undang-Undang No.12 tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia, memperkuat kedudukan etnis Tionghoa sebagai salah satu suku dalam
lingkup nasional Indonesia.
Eksistensi etnis Tionghoa dalam
lingkup nasional Indonesia melalui jalan yang cukup berliku memang. Dari awal
masa kolonial bagaimana keberadaan etnis ini dipandang strategis oleh
pemerintah kolonial sekaligus sebagai saingan. Dalam pada itupun etnis Tionghoa
terpecah kedalam beberapa golongan, yang pro terhadap pemerintah kolonial
karena merasa mendapat keuntungan terhadapnya, yang memilih sebagai tetap sebagai
“yang lain” karena cita-cita dan idealismenya terhadap bakti kepada negara
asal, yang terakhir memilih sebagai bagian dari warga masyarakat yang telah
menyatu dengan kebudayaan Indonesia dan kehidupannya.
Secara politis pemerintahan kolonial
saat itu memunculkan pemimpin-pemimpin etnis Tionghoa dalam kantong-kantong
wilayah yang telah ditetapkan bagi keberadaan etnis tersebut namun hanya
sebatas bagi kepentingan mengamankan wilayah zona ekonomi. Nampaknya mindset
sepeti ini tidak dapat dihapuskan seiring dengan pergantian rezim di nusantara
kemudian. Meminjam istilah dari Christinne Susanna Tjhin, bagaimana yang terbentuk
kemudian partisipasi etnis Tionghoa, hanya sebatas pada partisipasi celengan.
Partisipasi celengan ini kemudian
diperkuat lagi pada masa orde baru. Ketika itu partisipasi politik etnis
Tionghoa benar-benar diberangus, juga hak-haknya sebagai bagian dari masyarakat
Indonesia yang telah lama mendiami wilayah nusantara, dimana bukti-bukti
sejarah mencatat adanya akulturasi dan asimilasi secara sosial mendalam antara
etnis ini dengan masyarakat Indonesia. Padahal beberapa tokoh penting dalam
sejarah Indonesia bahkan terindikasi memiliki darah etnis ini, Raden Patah yang
memimpin Demak misalnya, juga beberapa wali penyebar agama Islam di Jawa. Tetapi orde baru lebih memilihnya sebagai
“yang lain” yang ditempatkan sebagai “celengan” untuk menggemukkan pundi-pundi
kemakmuran rezim tersebut, sangat haram untuk dilibatkan dalam politik praktis
negara.
Masa setelah runtuhnya rezim orde
lama dan pergantian ke orde baru adalah masa terkelam yang membuat etnis
Tionghoa trauma mengambil jalan untuk masuk kekehidupan politik praktis.
Setelah reformasi dimana kesempatan terbuka bagi setiap warga negara Indonesia
termasuk etnis Tionghoa sendiri untuk terlibat dalam kehidupan politik praktis
memperkuat demokrasi, belum dimanfaatkan secara baik oleh etnis ini. Posisinya
sebagai “celengan” yang hanya berkutat dibidang ekonomi, menyebabkan persepsi
kemunculan etnis Tionghoa kemudian dalam bidang politik justru dilabeli dengan
sakwa sangka, kepentingan apakah lagi yang hendak diambilnya? Sakwa sangka
terjahat kemudian adalah bahwa keterlibatan etnis ini dalam politik hanya dalam rangka melindungi kepentingannya
dijaringan ekonomi semata.
Memang populasi etnis Tionghoa di
Indonesia terkenal dengan gambaran, 2% populasi yang merajai 70 % perekonomian
nasional. Minoritas dibidang kehidupan sosial kemasyarakatan, akan tetapi
mayoritas dibidang ekonomi. Gambaran ini telah menyulutkan ketimpangan sosial,
yang secara tak sadar efeknya menghembuskan isu kebencian rasial yang tak
terkira. Padahal kita berhutang pada prestasi atlet-atlet olahraga yang
mewakili nama Indonesia di pentas Internasional, dan itu oleh etnis Tionghoa.
Belum lagi bagaimana pada masa pergerakkan Indonesia hingga kemerdekaan, tak
sedikit dari kalangan etnis ini yang pro terhadap Indonesia karena telah merasa
menjadi bagian dari masyarakat Indonesia, menyumbangkan pemikiran dan perubahan
sosial kemasyarakatan. Gerakan kamar dan
asosiasi dagang yang kemudian di tiru oleh Indonesia misalnya, gerakan
kesadaran akan pendidikan, pers dan media cetak dikalangan Indonesia,
penyebaran simbol-simbol nasionalisme seperti lagu Indonesia raya misalnya, dan
masih banyak lagi, terutama pemikiran ekonomi di Indonesia.
Kini tidak ada lagi sekat dalam
kehidupan politik ketika gelombang demokrasi menyerbu tanah air Indonesia. Apalagi semenjak Indonesia
meratifikasi undang-undang diskriminasi ras dan etnik. Seharusnya etnis
Tionghoa terlepas dari anggapan miring keterlibatannya dalam dunia politik
dapat mengambil kesempatan tersebut. Sayangnya, fakta kemudian mempersulit
keterbukaan era demokarasi ini untuk dapat merangkul minoritas. Sebagian etnis
Tionghoa masih meminjam istilah Christinne Susanna Tjhin, masih terperangkap
dalam “kekuperan”nya karena merasa nyaman dalam posisi sebagai “celengan” itu.
Tetapi setidaknya, ada
kondisi-kondisi yang dapat mendorong etnis Tionghoa untuk meningkatkan
partisipasi politiknya dalam arus demokrasi Indonesia. Sejak tahun 2004,
tercatat meskipun sedikit beberapa calon legislatif dari etnis Tionghoa yang
berhasil duduk di kursi DPR-DPRD, perkembangan kemudian akhir-akhir ini dapat
ditemukan partisipasi etnis ini dalam tataran politik praktis eksekutif daerah.
Kemunculan Ahok yang menjadi wakil Jokowi, terutama dapat dijadikan suatu
kondisi yang mendukung bagi peningkatan partisipasi politik etnis Tionghoa. Di
Jambi sendiri, tercatat kira-kira sebanyak 10 orang calon legislatif dari etnis
Tionghoa yang memperebutkan bursa kursi DPRD provinsi-kota hingga kabupaten,
dan tersebar di beragam partai politik.
Bagaimanapun juga, apakah pertanyaan
mengenai partisipasi poitik etnis Tionghoa sebagai wujud integrasi, asimilasi,
atau multikultural, dapat terjawab seiring waktu. Partisipasi politik etnis Tionghoa adalah
warna tersendiri dalam demokrasi Indonesia. Jika kondisi politik dan sistim
demokrasi di Indonesia berhasil merangkul juga meningkatkan partisipasi politik
etnis Tionghoa, hal ini merupakan pendidikan politik yang paling berharga.
Bukankah dalam demokrasi kita didoktrin bagaimana mengambil keputusan
berdasarkan suara terbanyak, tetapi hasil suara terbanyak tersebut juga tidak
menafikkan suara minoritas. Dalam tataran demokrasi Indonesia, untuk kasus pada
etnis tionghoa, bagaimana demokrasi yang berjalan mengakomodir minoritas ini
yang belum tampak. Disisi lain, pendidikan politik lainnya yang dapat dipetik
dari keberadaan suara minoritas, adalah bagaimana nantinya cara sebuah sistem
politik memperlakukan suara minoritas pada tataran atasnya, dan dibawah
bagaimana minoritas dihadapkan pada kepentingan-kepentingannya yang tidak
sebatas pada pemenuhan ekonomi, tetapi juga hak-haknya sebagai manusia
berpolitik, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dapat diperjuangkan hingga
pada tingkat sistem yang tertinggi yang mampu menaungi mereka, dan menjamin mereka
secara konstitusional lewat jalur politik.
0 Komentar untuk "Etnis Tionghoa Dalam Warna Demokrasi Indonesia"