Tulisan ini dimuat di koran harian Jambi Ekspress, 07 April 2014
Tahun
politik, begitulah 2014 ini di identifikasikan oleh seluruh bangsa Indonesia.
Ini karena pada tahun 2014 terdapat event besar hajatan pemilihan umum, dan
setahun penuh akan diwarnai dengan konsolidasi politik untuk menyusun
pemerintahan Indonesia yang akan menentukan masa depan masyarakat Indonesia lima
tahun kedepannya, dalam artian sebagai kesatuan masyarakat politis demi
tercapainya tujuan kehidupan berbangsa, bernegara, yang adil makmur, aman dan
sentausa.
Merujuk pada hal tersebut, sejatinya
kita tidak bisa menjadi a politis dalam kehidupan bermasyarakat yang puncak
piramida tertingginya adalah bernegara, berpemerintahan. Pertama, secara sosial
kita tidak dapat hidup sendiri, oleh karena itu kita membutuhkan orang lain
untuk memenuhi kebutuhan kita sebagai manusia yang tidak dapat kita buat secara
sendiri. Maka secara sosial ini kita membentuk keluarga, kelompok, masyarakat,
agar kebutuhan dasar hidup kita dapat terpenuhi dan tercukupi.
Kedua, politik sebagaimana banyak dirujuk merupakan
hal yang kotor, buruk, busuk, karena hanya identik dengan perebutan kekuasaan. Tetapi
Khadjeh Nasirudin Thusi, seorang pemikir Islam dalam bidang manajemen politik,
justru berpikir berbeda mengenai politik, antithesis dari konsep teori barat mengenai politik
sebagaimana yang telah biasa kita telan selama ini. Menurutnya, politik itu
adalah hal yang baik, mulia dan suci, karena politik adalah sebuah puncak
kehidupan dimana hanya manusia yang sempurna dalam bidang kejiwaan dan
keahlian, dapat menjalankannya untuk mengatur kehidupan bersama mencapai
keadilan dan juga kebahagiaan. Tujuan untuk mencapai kebahagiaan dan keadilan
dalam kehidupan bersama inilah yang
menjadi fokus kupasan politik Nasiruddin. Maka masyarakat yang terbaik adalah
masyarakat politik, dimana individunya terlibat dalam kehidupan politik untuk
menentukan kelangsungan kehidupannya, dan menyempurnakan kemanusiaannya.
Masih menurut Nasiruddin, ketika
manusia telah menjadi insan kamil, sempurna, maka dia akan berpikir terlepas
atau jauh dari hanya memikirkan sekedar kebutuhan dasarnya saja dan kepentingan
pribadinya, tetapi dia akan berpikir secara luas yang tidak akan terjangkau
oleh manusia biasa, karena hatinya, jiwanya, tergerak untuk ikut berperan serta
mengatur kehidupan di bumi, menciptakan ketertiban, mewujudkan kebahagiaan dan
keadilan bagi orang banyak, menegakkan fungsi khalifahnya sebagaimana Tuhan
mengamanatkan padanya.
Secara tegas, Nasiruddin mengatakan,
bahwa insan kamil yang telah tergerak untuk berpolitik itu, melihat dan dilihat kepada syarat keahlian,
kecakapan, kewarasan, kebijakan yang dimilikinya. Syarat ini diperlukan agar
kehidupan politik manusia tetap berjalan sesuai dengan koridornya, terutama
adalah koridor syariat, karena juga
hanya insan kamil yang dapat menjaga keberlangsungan syariat dengan jiwanya
yang telah melampaui hakikat kemanusiaannya.
Penulis, dalam hal ini, menyetujui
konsep teori politik Nasiruddin. Betapa tidak, melihat kepada citra kata
politik yang terlanjur di konotasikan kepada sesuatu yang negatif, dan
disebarkan untuk menuai kebencian, sehingga menciptakan generasi yang a politis,
dan memilih pragmatis, maka membangun konsep politik baru demi pembangunan
politik masyarakat-bangsa Indonesia sangat di perlukan.
Gerakan manusia politik, perlu diberdayakan
kepada segenap masyarakat Indonesia, terutama pada pemilihan umum 2014 ini. Sebab,
kita memang manusia politik yang saling membutuhkan satu sama lain, dan
kebutuhan kita hanya bisa terwujud serta dipengaruhi oleh melalui proses
politik, apakah itu ketersediaan makanan, papan, sandang, hidup dan mati kita. Masa
depan kehidupan kita sebagai manusia, begitu diatur oleh tata politik yang
terbentuk. Bagaimana lagi kita akan menghindar dari kondisi politik?
Kondisi sistem politik yang di nilai
carut marut, tidak akan pernah terselesaikan jika koridor wawasan berpikir
politik kita sebagai manusia politik terus tertidur dalam ketidakberdayaan dan
memilih untuk menyerah. Bagaimana bangunan politik sebuah bangsa akan selesai
sampai tahap akhir yang dicita-citakan sesuai dengan konstitusi, jika pada
pertengahannya menemui kendala dan kita manusia politik sebagai kuncinya
kemudian menyerah.
Jika hakikat kita sebagai manusia
politik adalah mengenai sebuah keberdayaan kita sebagai manusia yang sempurna,
yang tidak menyerah berhadapan dengan sistem politik, karena politik dan
keikutsertaan kita didalamnya adalah hak kita, bagaimana mungkin kita akan
membiarkan sistem mempermainkan hak kemanusiaan kita. Oleh karena itu, terlepas dari segala kondisi pemilihan umum
2014 yang kita hadapi saat ini, dan segala pesimisme yang meghantuinya apakah
itu masalah calon legislatif, badan penyelenggara, calon presiden, lembaga
politik yang berjalan, masyarakat yang makin terintimidasi dan tergiur dengan
politik transaksional, setidaknya jika kita menyadari hakikat kita sebagai
manusia politik bahwa kondisi tersebut justru memicu kita untuk membangun
politik yang adiluhung di negeri kita tercinta Indonesia, bukan dengan menyerah
menjadi a politis, apalagi dalam wujud apatis.
Tidak diperlukan langkah jauh untuk
membangun politik dari manusia politik. Mulailah mengembara kedalam diri kita
masing-masing, apakah benar kita terpisah dari hal-hal yang politis, sehingga
tidak mau menjadi manusia politik. Kedalam diri kita akan ditemui jutaan ragam
sel yang membangun kita sebagai manusia, dan cara kerjanya tidak hanya melulu
mekanis, tetapi saling menyempurnakan satu sama lain, itulah politik. Begitu
juga kita sebagai manusia politik layaknya membangun politik negeri ini dari
beragam warna manusia, apakah itu etnis, suku, budaya, agama, kepentingan,
tujuannya hanya satu, mewujudkan kehidupan ang adil, bahagia, sejahtera, mengimplementasikan
kesempurnaan kita sebagai manusia.
Selamat
merayakan hak politik kita pada pemilu 2014!
0 Komentar untuk "Manusia Politik Membangun Politik"