ads
ads

Pemilu Memenangkan Rakyat atau Kekuasaan ?



Tulisan ini di muat di Jambi Independent, 15  April 2014


Pemilu 2014 nanti merupakan puncak penyelenggaraan pemilu yang penuh dengan kegilaan bagi bangsa Indonesia. Begitulah kira-kira kutipan pernyataan salah satu teman saya di jejaring sosial beberapa bulan sebelum pemilu. Tentu saja pernyataan itu kemudian mengundang banyak komentar dari sejumlah teman yang tergabung di situs jejaring sosial tersebut. Sebagian cenderung mengamini pernyataan tersebut, sebagian lagi tak kalah sinis menghimbau untuk tidak memandang pesimis terhadap hajatan besar negara tersebut, demi masa depan negara ini yang lebih baik.
            Empat periode sudah negara ini menghelat pemilu setelah kejatuhan rezim otoriter orde baru. Harapan terbesar dari terselenggaranya pemilu tersebut di setiap periodisasi adalah mewujudkan masa depan negara yang lebih baik dari segi tata pemerintahan juga terciptanya mekanisme pengawasan dan kontrol manajemen tata pemerintahan antara rakyat dan lembaga pemerintahan serta lembaga perwakilan rakyat yang berimbang, representasi keterwakilan dan tersalurnya aspirasi rakyat, terbukanya ruang dialog dalam kondisi yang lebih demokratis bagi permasalahan kehidupan bangsa yang majemuk, pelayanan publik yang merata-adil-nyaman bagi semua golongan dan lapisan masyarakat, kebijakan yang lebih pro terhadap rakyat bukan segolongan kepentingan atau lapisan sosial tertentu.
            Akan tetapi apakah faktanya demikian?  Sejatinya rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi dalam kondisi dan sistem pemerintahan yang demokratis. Mekanisme kedaulatan tersebut dikarenakan dinamika perkembangan masyarakat yang tidak mungkin menyalurkan aspirasi rakyat secara langsung, akhirnya diserahkan kepada wakil rakyat yang termanifestasi kedalam lembaga perwakilan rakyat melalui sistem demokrasi perwakilan. Wakil rakyat bergerak dan bertindak atas kehendak dan kepentingan rakyat yang diwakilinya.  Keberadaannya di lembaga perwakilan karena adanya permintaan dan persetujuan rakyat yang memilihnya, mempercayainya untuk dapat memegang amanah rakyat yang diwakilinya. Kekuasaan yang didapat setelah menjadi wakil rakyat, dipergunakan sebagaimana mestinya agar aspirasi rakyat dapat terwujud kedalam sebuah kebijakan yang dibuat dalam proses politik perwakilan untuk menghasilkan produk kebijakan yang dapat digunakan bersama bagi tujuan-tujuan dan kepentingan umum, dan mengarahkan kepada ketertiban, keadilan, serta kesejahteraan masyarakat secara bersama.
            Kesejatian konsep kedaulatan rakyat dalam hal sistem perwakilan tersebut, faktanya mengalami kondisi yang sama sekali jungkir balik pada pemilu 2014 ini, senada dengan apa yang dikatakan oleh teman saya di jejaring sosial tersebut, dalam pernyataannya yang telah saya sebutkan diatas. Keterbukaan, hingar-bingar, keleluasaan politik yang lebih ekspresif dalam kondisi demokrasi saat ini, justru mengembalikan negara sebagai arena perebutan kekuasaan, bukan sebagai lokus sejatinya untuk melayani kepentingan rakyat. Jika pada pemilu 2004 rakyat dan penyelenggara negara masih terkagum-kagum mengamati dan menggunakan pil demokrasi dan segenap resep kebebasan didalamnya yang membuat mabuk kepayang, pada pemilu 2009 dimulailah efek ekstase yang tiada tara itu, di dalam politik akhirnya semua mengimajinasikan kursi legislatif adalah representasi kekuasaan yang harus diraih dengan segenap cara.
            Momentum pemilu sejak tahun 2009, adalah akumulasi hausnya kekuasaan yang pada masa orde baru tidak dibagi secara merata, dan tidak diproduksi secara massal. Orde baru membatasi kekuasaan dalam lingkaran patron-klien. Hanya klien-klien tertentu yang dapat menikmati kemegahan kekuasaan, itu terkumpul kepada kaum tekhnokrat dan konglomerat. Maka pada pemilu 2009, segenap kekuatan massa tersadar, bahwa kesempatan untuk meraih kekuasaan terbuka lebar bagi siapapun, tidak peduli tekhnokrat, aristrokrat, atau konglomerat, yang terpenting adalah tekad untuk menggenggamnya. Tak heran kemudian, warna politik dinasti, politik transaksional, menjadi epidemik pada pemilu 2009. Apalagi, keberadaan sistem perolehan suara terbanyak mendukung ideologi kekuasaan menyalurkan hasrat kekuasaan dan rasa hausnya untuk meraih kursi legislatif dilembaga yang bernama lembaga perwakilan rakyat itu.
            Pada pemilu 2014, yang baru saja beberapa hari diselenggarakan, epidemik politik tersebut kian mewabah, benar-benar mematikan tujuan semula pemilu diselenggarakan, yaitu memenangkan suara rakyat dalam tahta kedaulatan rakyat. Pada tingkat institusional, penyelenggara pemilu yang diharapkan dapat menjaminkan integritasnya di tengah rakyat sebagai badan yang independen, nyatanya telah terkontaminasi dukungan-dukungan politis dan sponsorship politis. Partai politik, badan, perseorangan, menjadikan lembaga penyelenggara pemilu sebagai benteng pertahanan strategi pengolahan data dan suara jika ingin memenangkan persaingan dalam pemilu. Bukan suatu yang rahasia lagi, bahwa lembaga penyelenggara pemilu, baik ditingkat pusat sampai tingkat yang serendahnya, dapat diajak bekerjasama memainkan kecurangan secara sistemik dan terstruktur. Mulai dari membereskan berkas verifikasi parpol, sampai dengan membereskan berkas caleg yang sejatinya bermasalah akut, hingga mengarahkan kemenangan perseorangan atau partai politik di tingkat tempat pemungutan suara, semuanya mungkin dapat dilakukan asalkan tersedia dana untuk melakukan transaksi yang bersifat politis tersebut.
            Pada partai politik, secara institusional telah benar-benar mengesampingkan ideologi, serta kemurnian perjuangan partai politik demi kepentingan rakyat yang diwadahi oleh lembaganya. Partai politik telah menjelma sebagai kendaraan tunggangan bagi individu yang haus dan silau terhadap manifestasi kekuasaan di lembaga legislatif. Kader-kader berkualitas tersingkir atas nama uang, begitu juga aspirasi anggotanya. Peran partai politik adalah peran perputaran uang dan kekuasaan, serta laju kendali sarana politik dinasti.
            Di tingkat akar rumput, jangan ditanyakan lagi. Politik transaksional telah mengambil bentuknya yang paling gila. Selain budaya politik intimidatif yang diberlakukan untuk memperoleh suara rakyat mencapai legitimasi kekuasaan, politik transaksional pada pemilu 2014 adalah suatu kemutlakan. Hingga terkenal istilah NPWP (Nomor Piro Wani Piro). Rakyat akan memberikan suaranya kepada yang berani membayarnya terbesar. Secara kolektif, konstituen tergerak karena motifasi uang bukan karena motifasi keterwakilan aspirasi dan kepentingannya. Kedaulatan ada ditangan rakyat yang menerima pembayaran terbesar dalam transaksi politik untuk meraih kekuasaan sebagai wakil rakyat. Maka, yang terpilih adalah yang dapat mengeluarkan sejumlah besar uang dalam transaksi politik barter antara kekuasaan dan legitimasi. Rakyat di akar rumput juga berhalusinasi, bahwa kursi lembaga legislatif adalah kursi kekuasaan semata, dimana barter yang telah mereka lakukan itu sama sekali bukan urusan yang menyangkut kepentingan mereka. Tetapi menyangkut kepentingan siapa yang ingin berkuasa, dan siapa yang akhirnya menang dalam pertarungan mendapatkan kekuasaan.
0 Komentar untuk "Pemilu Memenangkan Rakyat atau Kekuasaan ?"
Back To Top