Tulisan ini diterbitkan di Koran Harian Jambi Ekspress, 30 September 2015
Pada
masa Orde Baru, setiap tiga puluh September akan diputar film untuk
memperingati Gerakan Tiga Puluh September (Gestapu), judul film tersebut adalah
Pengkhianatan G30S PKI. Namun sejak rezim Orde Baru runtuh dan reformasi
bergulir, film tersebut menghilang secara tetap sebagai tontonan permanen di
media elektronik pada 30 September. Meskipun demikian, ingatan akan film
tersebut seolah menjadi fosil bagi generasi yang pernah lahir dan hidup pada
masa Orde Baru.
Film G30S PKI dibuat untuk
mengokohkan doktrin sejarah adanya percobaan kudeta kekuatan komunis terhadap pemerintahan
yang legal saat itu. Lebih daripada itu, gambaran komunis dalam film tersebut
juga ingin mengokohkan kekejaman yang telah dilakukan oleh gerakan komunis
terhadap agama dan tujuh pahlawan revolusi dari angkatan darat. Makarnya
komunis dan upaya subversif kedalam pemerintahan dan angkatan darat, hingga
kemudian berhasil menampilkan sosok pahlawan yang bernama Soeharto dalam upaya
menumpas gerakan komunis, menjadi bagian terpenting pesan film tersebut.
Pada masa Orde Baru, membicarakan
komunisme merupakan hal yang tabu. Apalagi membaca pemikiran-pemikiran
komunisme di literatur dan kemudian mendiskusikannya. Kini jaman reformasi dan
setelahnya, sembilan belas tahun sudah, apakah tabu sekedar membicarakannya dan
mendiskusikannya ? sebab beberapa kali persoalan untuk mengungkap kebenaran
sejarah Gestapu diadakan baik oleh sejarawan, maupun forum-forum diskusi
lainnya, buku-buku soal Gestapu pun juga telah banyak beredar, namun sakwa
sangka seakan telah menjadi fosil dalam pemikiran kita semua, dengan alasan
yang paling logis yaitu Pancasila dan Kedaulatan Republik Indonesia adalah
harga mati.
Sejarah komunis terdapat di
Indonesia telah sejak jaman kolonial Belanda. Tokoh Henk Snievlet merupakan
pion utama penyebar benih komunis di tanah air. Kemudian diikuti oleh tokoh-tokoh Indonesia
seperti DN. Aidit yang menjadi penjahat utama dalam film Gestapu. Tak
ketinggalan pula beberapa tokoh kiri yang dilabeli komunis, dan beberapa
organisasi yang dianggap sayap kanan komunis. Partai Komunispun sempat berkibar
di Indonesia, dan pada kongres ke-6 pada
tahun 1956, Soekarno sempat berpidato dan membuka kongres tersebut, dan sejak
itu Soekarno dituduh memihak terhadap gerakan komunis.
Setelahnya, pada tahun-tahun
1960-an, merupakan masa kelam sejarah Indonesia. Puncaknya pada tahun 1965,
tragedi Gestapu menjadi sejarah yang berdarah-darah. Dimana ribuan orang di seluruh Indonesia di bantai atas
nama pembersihan partai komunis, tanpa melalui pengadilan. Gugurnya tujuh jenderal yang dikabarkan
dibunuh dengan kejam oleh komunis, menjadi momentum naiknya Orde Baru
kepanggung kekuasaan, dan menyisakan misteri soal peralihan kekuasaannya
sebagaimana misteri hilangnya orang-orang yang dituduh komunis pada saat itu
dan kemudian.
Ketika Gusdur mencabut surat
keputusan pemerintah yang diskriminatif terhadap PKI dan keturunannya yang
dibuat pada masa Orde Baru. Keseimbangan dialam pikiran masyarakat Indonesia
pun mulai terganggu dengan ingatan yang telah menjadi doktrin akan bejatnya
PKI. Pun setelahnya ketika diskusi-diskusi soal pembantaian massal ribuan orang
tanpa proses pengadilan dan dituduh sebagai komunis, menyumbang goyahnya ketenangan
pikiran dibenak hampir sebagian rakyat Indonesia.
Isu PKI dan keturunannya juga sempat
memanas dilekatkan pada Presiden Joko Widodo. Isu tersebut bergulir sebagaimana
doktrin tabu membicarakan ulang Gestapu. Kampanye memerangi komunisme kemudian
digalakkan, toh meskipun Jokowi mulus maju ke kursi kepresidenan. Tak ada bukti
yang berhasil secara terang soal isu PKI dibelakang Jokowi. Tapi momentum anti
komunis mengambil event pemilu kepresidenan merupakan cara apik untuk
menyampaikannya kepada generasi muda.
Berbarengan dengan hal tersebut,
film tandingan yang kontra terhadap doktrin PKI selama ini, meluncur ketengah
publik. Sebut saja dua film besutan sutradara Openheimer, Senyap dan Jagal. Dua
film tersebut juga menuai perlawanan gerakan anti komunisme. Sebab ternyata
tabu masih berlaku untuk membicarakan Gestapu, komunisme, dalam keseimbangan
penguasa dan korban, serta pelaku pembantaian.
Fosil ketenangan soal Gestapu selama
beberapa dekade terganggu dengan hadirnya dua film tersebut. Tabu seolah
terkuak, dan menyakiti Pancasila serta NKRI. Namun, generasi saat ini yang
tidak tahu apapun bagaimana rasanya menonton secara tetap film Pengkhianatan
G30S PKI pada masa Orde Baru, berada dipinggiran arus informasi soal ketabuan
membicarakan Gestapu. Sementara literatur dan diskusi mengenai komunisme siap
mengepung mereka dari berbagai sudut.
Keniscayaan untuk memelihara tabu
membicarakan Gestapu dengan demikian apakah akan terus berjalan dan berhasil ? Apa
yang ditakutkan dari upaya subversif menguak tabu tersebut ? Sebab tidak ada
ideologi negara yang dijalankan secara ketat pada generasi muda saat ini, dan
tugas partai politik non komunis yang seharusnya memberikan pelatihan ideologis
pada generasi muda tidaklah berfungsi, doktrin yang tidak berjalan atas
kebanggaan terhadap Pancasila, apalagi yang perlu ditakutkan ?
Bukankah ketika Pancasila dan NKRI
menjadi harga mati, dan nilainya begitu sakti karena adanya Gestapu tersebut,
seharusnya doktrin Pancasila mampu mencengkeram generasi sekarang dari bahaya
tabu ketika terkuak bak kotak pandora di abad digital ini. Olehkarenanya tidak
ada kekhawatiran ketika mereka menemui isi tabu yang sebenarnya. Sebab biasanya
tabu dibuat ketika tidak ada alasan logis untuk menjelaskan arti
larangan-larangan dan bahaya yang berlaku.
Kini bicara tabu soal Gestapu dan
ideologi yang menyertainya, tidakkah ada alasan logis yang dapat dijadikan
pembanding, mengapa sekedar mengetahui ribuan orang terbunuh diseluruh
Indonesia dan tanpa proses pengadilan dalam peristiwa pembersihan Gestapu
menjadi sebuah pantangan berakibat karma ? atau sekedar menonton film dan
mendiskusikannya merupakan hal yang haram ?
Sekiranya jaman bergerak keabad-abad
yang modern, logis, rasionalis, namun tak berhasil membersihkan tabu
membicarakan Gestapu.
0 Komentar untuk "Bicara Tabu Gestapu"