ads
ads

City Changers it’s not Power Rangers: Belajar dari si Singa


Oleh: Berlian Santosa*

Tulisan ini juga di muat di Koran Jambi Star

Sebagai City Changers Indonesia, saya gigit jari melihat negeri Singa. Ngiler lihat dua poin penting sebuah kota. Pertama, Singapura sebagai Planned City dan ke dua sebagai Safe & Healthy City. Selain ngiler saya malu melihat peradaban kota yang dibangun dengan seksama, terencana dan berkualitas itu. Saya yakin sekali tidak diperlukan sama sekali satu orangpun City Changers di sini. Tidak laku. Kampanye-kampanye hidup bersih, menjaga sanitasi dan lingkungan sudah menjadi darah daging dan alam bawah sadar para generasi dan warga kota Singa. 

Iseng saya mencari got/selokan. Berharap ada kubangan sampah atau saluran mampet lalu akan berteriak di tengah kerumunan orang, "Ih, ternyata jorok juga, tuh!" Sayang, hal itu tidak pernah terjadi. Sebab Singapura benar-benar bersih dan tertata rapi dalam setiap sudut kota termasuk daerah ‘pinggiran’-nya. 

Kota sudah nyaman ditempati warganya. Sebab kenapa?...karena sistem telah berjalan dengan apik. Bukan simsalabim. Sistem berjalan tersebab kebijakan dan aturan main yang ditegakkan pemimpin yang bertanggung jawab terhadap warga kota. Pemimpin yang memikirkan rakyatnya sepenuh hati. 

Jelas. Negeri berikon Merlion ini memiliki sistem yang telah dijalankan oleh kebijakan pedahulunya (founding father). Sistem yang mula ditolak, dibenci dan dirasakan mengintimadasi warganya dengan gelombang protes. Kini lihatlah, Singapura menjadi negeri terdepan dalam sektor tata ruang kota, bahkan hampir dikata setara dengan kota-kota besar lain di Eropa dan Amerika. 

Planned City. Ada satu alasan besar bagi warga Indonesia yang pesimis sebagai pemilik lebih dari 17.000 pulau tersebar dari Pulau Weh di Sabang, hingga ke Merauke, Papua dan dari Sangir ke Talaud bahwa jangan bandingkan dengan negeri ‘liliput’ Singapura. Negara mini mudah tertata, warga gampang diatur dan pasti sejahtera. Tidak sesederhana itu. Kembali di poin awal bahwa itu berkat kebijakan dan kerja keras pemimpin beserta kontribusi masyarakatnya. Pabila masyarakat yang menjelmakan diri sebagai City Changers bagi kotanya sendiri, sudah barang tentu kota menjadi tanggung jawab bersama. Membangun kota secara terencana, berkelanjutan dan berkualitas. Coba kita tengok hasil survery ECA yang dirilis awal tahun ini. Singapura menempati urutan teratas sebagai kota layak huni di Asia dan dunia. Sementara Jakarta dan Surabaya menempati urutan ke-47 dan 48 Asia. Inilah bukti kerja nyata semua pihak bahwa Singapura memiliki kualitas udara yang baik, infrastruktur yang kokoh, fasilitas medis yang layak, serta tingkat kejahatan dan risiko kesehatan yang rendah. Bukti membangun kota dengan visi-misi yang jelas dan terukur. Sementara kita terengah-engah dengan tumpang tindihnya kebijakan dan aturan main yang kerap dilanggar sendiri. 

Ke dua. Si Singa ‘mengaum’ lebih keras sebab mereka telah memiliki apa yang dinamakan Safe & Healthy City. Membangun kota yang nyaman dan layak huni. Ini sesuai dengan arah kebijakan pemerintah RI dalam RPJPM. Satu pertanyaan konyol kepada warga, apakah mereka mengiginkan kota yang bersih, teratur, tidak macet, sanitasi terjaga, air bersih cukup dsb? Tentu mereka semua menjawab ya. Tapi bagaimana menggerakkan itu semua pabila antara pemerintah dan stakeholder terkait beserta warga tidak bersekutu bahu membahu mengawal dan menjalani secara bersama. Ada rewards bagi warga yang patuh dan berkontribusi untuk lingkungan, dan punishment bagi pelaku yang melanggar. Kota bersih, lingkungan sehat milik bersama. Kerja berbarengan. Bukan saling menyalahkan. Indonesia bisa menjadi Singa yang mengaum (kembali) pabila membenahi dengan sunguhsungguh banyak sektor seperti: ketersediaan pelayanan kesehatan, perumahan dan utilitas, isolasi, akses ke jaringan sosial dan fasilitas rekreasi, sarana-prasarana, keselamatan pribadi, kondisi politik, dan kualitas udara. Bisa membangun dan memiliki budaya merawat. Ujungnya menjadikan kota itu layak huni dan nyaman ditinggali.

Gerakan 100-0-100 yang dikampanyekan oleh Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia telah mencanangkan sebuah program nan jitu hingga keberhasilan target pencapaiannya di tahun 2019 nanti berupa: 100% akses air bersih, 0% bebas kumuh, dan 100% akses air bersih bagi masyarakat Indonesia. Ini angka sakti yang tidak main-main!

Sejak tahun 2010, Indonesia telah memasuki era milenium urban. Hal ini ditandai dengan tumbuhnya jumlah penduduk di perkotaan lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk di perdesaan. Populasi makin meningkat sedangkan tantangan pembangunan permukiman perkotaan semakin besar. Jika tidak dipersiapkan matang, maka Indonesia bakal tertinggal di berbagai sektor dan imbasnya kepada masyarakat itu sendiri. Amat dibutuhkan peran dan upaya besar untuk mampu mengakomodir berbagai kebutuhan masyarakat, termasuk lahan, perumahan dan permukiman beserta infrastruktur pendukungnya secara memadai. Hanya dengan begitu perkembangan populasi dapat diakomodasi dalam bidang perumahan dan permukiman kawasan secara positif.

Peran City Changers
Lahirnya City Changers adalah sebagai upaya dari Global Campaigne UN-Habitat. Dengan adanya City Changers Indonesia setidaknya pemerintah punya satu armada mitra untuk bekerjasama mengentaskan permasalahan yang ditimbulkan terutama di bidang kecipta-karyaan di bawah Kementerian PU Republik Indonesia. 100 orang City Changers yang dimatrikulasi akhir Oktober 2014 lalu tidaklah cukup. Tapi gerakan ‘menyemarakkan’ 100-0-100 ini menjadi suara bersama. Senada, lantang, dan aplikatif di lapangan. Dengan cara-cara sendiri, bahkan, City Changers menemukan solusi dari muara persoalan yang mungkin sedikit berbeda dengan penanganan yang dilakukan pihak pemerintah. Mereka adalah orang-orang dengan latar belakang ilmu yang beragam, komunitas berbeda, profesi, status sosial, dan pemikiran yang juga bermacam-macam. Inilah uniknya. Seni bagaimana memperlakukan masyarakat sebagai subjek yang setara bukan objek belaka. Seni bagaimana menyatukan perbedaan dari tantangan kesulitan yang dihadapi.

City Changers Indonesia berangkat dari keinginan personal untuk mengabdi dan berkarya buat negeri. Kita boleh terpukau dengan negeri lain. Tapi setelah itu kita belajar untuk mengadopsi, mengurai, memilah kembali dan mengaplikasikan di lingkungan terdekat seperti rumah. Tidak boleh ada kata menyerah dalam berbuat demi masyarakat.

Singa itu ada dalam diri kita. Warga kota Indonesia yang bertanggungjawab dan mengambil peran masing-masing dalam sektor yang dikuasainya. Lalu bersinergi dan menghasilkan output bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama. Indonesia bisa ‘mengaum’ lebih garang dan lantang dari Singapura jika kita bersatu padu mengurai benang kusut dan melakukan mulai dari hal yang terkecil sekalipun seperti tidak membuang sampah sembarang. Terlihat sepele, bukan? Nah, dari sinilah terlihat kerja kecil itu di mulai. Omong kosong kita bicara kerja besar jika kerja kecil dan remeh temeh saja belum kita bereskan. Rumah kita belum bersih, sampah masih berserakan, got mampet, banyak tikus berkeliaran lalu kita meneriaki rumah tetangga terlebih dahulu. Itu sama saja menepuk air di dulang terpercik muka sendiri. 

Kita bangunkan Singa yang tertidur dalam diri. Goncangkan dengan semangat berbuat dan berkarya bagi negeri. Bukankah budaya bersih dan lingkungan sehat bisa diciptakan yang awalnya terkesan dipaksakan? Bahkan para ahli sependapat bahwa kebudayaan merupakan hasil karya cipta dan rasa masyarakat itu sendiri. Budaya juara bisa ditumbuhkan sebab dilandasi tingkah laku masyarakatnya. 

Melalui inisiasi, kampanye, sosialisasi dan keterlibatan City Changers Indonesia, tentu ini menjadi langkah jitu. City Changers akan terlibat menggulirkan program 100-0-100 sebagai gerakan global untuk memberikan dan menyebarkan inisiatif memperbaiki kota kepada individu, korporasi, dan masyarakat. Sebab peran masyarakat akan menjadi ujung tombak keberhasilan program tersebut. Tidak hanya 100 City Changers yang termatrikulasi saja yang bergerak. Tapi seluruh komponen masyarakat ikut terlibat sebagai agen perubahan itu sendiri. Mulai dari diri dan rumah (keluarga). City Changers ikut membangun dan meningkatkan kesadaran dan sensitivitas warga kota terhadap isu-isu perkotaan untuk mencapai kota lebih baik, layak huni, nyaman dan berkualitas. Sebagai pegiat permukiman berkelanjutan, City Changers berperan aktif bersama masyarakat. Menjadi tokoh di depan dalam mengawal kebijakan kota yang membela kepentingan masyarakat. Mulai sekarang tinggalkan masa lalu: si Macan ompong. Demi kota kita, beralihlah menjadi Singa yang mengaum dan bersuara lantang.


Penulis adalah City Changers Indonesia, Story teller, Coach UKM & Writerpreneur, berdomisili di kota Jambi.

0 Komentar untuk "City Changers it’s not Power Rangers: Belajar dari si Singa"
Back To Top