Tulisan ini diterbitkan oleh Koran Harian Jambi Independent, 24 Februari 2015
Demokrasi
elektronik telah menjadi mekanisme alternatif
untuk melangsungkan proses demokrasi
yang menjadi sistem politik di Republik Indonesia. Perkembangan
Tekhnologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang begitu masif dan cepat menjadi
pengiring transformasi demokrasi elektronik kedalam kehidupan masyarakat
Indonesia. Penggunaan internet yang semula hanya pada ruang tertentu dan
kalangan tertentu, kini telah dapat digunakan secara massal oleh berbagai
kalangan dengan dukungan perangkat tekhnologi mobile yang semakin memiliki
tampilan ramah dan mudah diakses oleh penggunanya. Internet dan perangkat tekhnologinya bukan lagi
menjadi materi yang ekslusif pada saat ini, pun dengan demokrasi.
Kedalam bentuk demokrasi elektronik,
inti kehidupan demokrasi sepertihalnya
menyatakan pendapat atau mengeluarkan aspirasi kehadapan publik, partisipasi
politik yang berupa dukungan ataupun kampanye, transparansi, agregasi
kepentingan untuk input pada proses politik, juga telah dapat dilakukan oleh
semua kalangan yang melek tekhnologi ataupun yang mau bersentuhan dengan
tekhnologi. TIK mobile membantu
memberikan jalan, ketika demokrasi yang dilangsungkan pada kehidupan nyata
menemui jalan buntu, atau menghadapi berbagai keterbatasan.
Kondisi ini didukung oleh rezim
reformasi dan pasca reformasi yang memberikan kebijakan untuk membuka akses
kepada informasi dengan membuka kerannya sekencang-kencangnya. Akibatnya,
informasi mengalir begitu deras dan membanjir di kehidupan masyarakat Indonesia
yang tengah berada dalam arus pusaran perubahan TIK secara masif dari berbagai
penjuru dunia, barat terutama. Dari sini demokrasi elektronik bertumbuh kedalam
kehidupan masyarakat Indonesia secara massal, bergantung kepada karakteristik
kesiapan nalar logis dan lingkungan tempat masyarakat Indonesia tinggal
sepanjang jazirah nusantara. Dalam hal ini, Jambipun tak terkecuali.
Adanya wadah berupa media alternatif
yaitu media sosial, menyumbang bentuk baru pelaksanaan demokrasi elektronik
pada masa kini. Tercatat media sosial yang sering digunakan akrab pada
masyarakat Indonesia yaitu Facebook untuk kalangan kelas menengah hingga kelas bawah,
dan Twitter untuk kalangan kelas menengah terdidik ataupun sangat terdidik dan
kelas atas dengan berbagai kepentingan. Kehadiran media sosial sebagai wadah
demokrasi elektronik ini, membawa transformasi pula pada masyarakat nyata
menjadi masyarakat internet (netizen).
Netizen dan media sosial merupakan dua hal yang saling mengakrabi bagi
pertumbuhan dan perkembangan demokrasi elektronik. Kehausan netizen akan
informasi menjadikan media sosial sebagai akomodasi untuk mengumpulkan dan menyebarkan informasi, apalagi
terkait dengan proses politik yang sedang berlangsung dalam kehidupan bersama
sebagai warga negara sebuah negara.
Pada kurun waktu 2011 hingga saat
ini, penulis mengamati terdapat dua grup di Facebook sebagai wadah aspirasi
berbagai kalangan pergerakan dan kepentingan yang ada di Jambi. Banyak
grup-grup aspirasi tentang Jambi yang bertumbuh di Facebook mengatas namakan
berbagai daerah yang ada di Jambi dari ujung barat hingga ujung timur. Namun
terdapat grup yang intens dan menjadi besar di netizen Jambi, seperti pada mulanya
Jambi Menggapai Keadilan (JMK) yang kini kurang begitu intens lagi digunakan,
dan netizen Jambi pada akhir 2014 tergabung lagi lebih intens kedalam grup
Facebook bertajuk Suara Rakyat Jambi (SRJ). Kedua grup tersebut apalagi SRJ
telah mencapai anggota hingga lima puluh ribu lebih.
Media
sosial dan kedua grup aspirasi netizen Jambi baik JMK maupun saat ini SRJ,
merupakan wajah baru bagi masyarakat Jambi dalam melaksanakan demokrasi,
dibandingkan dengan kurun waktu sebelumnya, dimana media sosial dan internet
belum begitu akrab bagi masyarakat Jambi. Apresiasi mendirikan wadah aspirasi
di media sosial tersebut patut dijadikan pertimbangan untuk melihat kultur,
nalar, dan paradigma demokrasi elektronik yang berjalan dalam masyarakat Jambi.
Apalagi, elit politik dan pemangku kepentingan kebijakan pemerintah daerah juga
secara diam-diam memantau perkembangan aspirasi dari netizen Jambi melalui grup
di media sosial tersebut.
Dari
kesemua hal tersebut, fokusnya ada pada bagaimana wadah demokrasi elektronik
tersebut bertumbuh dan berkembang didalamnya, terutama terkait dengan hal
budaya berbagi dalam demokrasi yang dibangun. JMK maupun SRJ, terlalu aktif
untuk sekedar mengalirkan aspirasi netizen Jambi dari berbagai kalangan, apakah
itu tim sukses, birokrat, aktivis pergerakan, kaum kepentingan, pemburu rente, partisipan
politik lainnya. Mengacu kepada JMK sebagai grup awal, terkadang aspirasi yang
bergulir cenderung tendensius, mengarah kepada upaya negatif penyerangan dan
memojokkan person, tanpa ada kultur dialogis yang dibangun, apalagi jika
terdapat ketidaksepahaman pendapat. Begitu juga dengan SRJ, sharing culture demokrasi elektronik yang dibangun hingga
sampai hari ini, empat tahun sudah netizen Jambi mengakrabi kemudahan
menuangkan aspirasinya secara elektronik, hanya sebagai tempat kampanye baik
secara positif maupun terlebih lagi negatif pada agenda politik tertentu.
Jika
tahun-tahun kedepan, netizen Jambi bertumbuh dan berkembang dalam demokrasi
elektronik yang tanpa adanya upaya dialogis menyelesaikan permasalahan terkait
dengan proses demokrasi yang dihadapi, dan lebih terus mengembangkan kultur
berbagi secara negatif tanpa disertai akal sehat dan nalar yang baik terhadap
informasi yang mengalir dan dikomunikasikan kedalam wadah media sosial secara
elektronik tersebut. Amatlah disayangkan, karena terdapat kecenderungan negatif
bagi netizen Jambi bahwa hal yang tidak dapat diselesaikan di dunia nyata
secara memuaskan akan berlanjut didunia maya dalam bentuk provokasi negatif dan
menyudutkan keranah privat yang
seharusnya bukan makna dari inti proses demokrasi yang berjalan.
Harapannya,
media sosial tersebut dapat menjadi jembatan membangun demokrasi elektronik
yang baik dan masif bagi masyarakat Jambi, karena kedepan mekanisme digital
menjadi alternatif masif kehidupan masyarakat Jambi apalagi berhadapan dengan
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA 2015) yang didepan mata. Dan sebagaimana netizen
yang dicirikan kedalam masyarakat informasi yang bertumbuh pada alas ilmu
pengetahuan, netizen Jambi hendaknya juga lebih membekali diri sebagai netizen
yang berilmu pengetahuan dalam mengusung demokrasi elektronik di media sosial, bukan
lagi sebagai netizen yang hanya berbekal teriakan suara tanpa filosofi berarti
sebagaimana pernah dilakukan secara manual di dunia nyata. Lebih penting dari
itu, harapannya kultur dialogis yang lepas dari efek kepentingan tertentu yang
tendensius sudah saatnya dibangun.
Mari membangun demokrasi elektronik yang
sehat, untuk Jambi beradab dimasa depan.
0 Komentar untuk "Jambi, Netizen dan Demokrasi Elektronik"