Tulisan ini diterbitkan oleh Koran Harian Jambi Ekspres. 23 Februari 2015
Kini
tradisi perayaan memperingati tahun baru bagi etnis Tionghoa yang biasa disebut
dengan Imlek, telah menjadi hal yang biasa dalam kehidupan masyarakat Indonesia
sejak masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid di Indonesia mengeluarkan
kebijakan Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2000 untuk mencabut Instruksi Presiden
No. 14 Tahun 1967 tentang agama,
kepercayaan dan adat istiadat Cina. Setelahnya, tradisi perayaan Imlek dengan
segala atribut dan pernak-perniknya bebas untuk dirayakan oleh etnis Tionghoa
dan disaksikan oleh seluruh masyarakat Indonesia yang hidup berampingan dengannya. Barangsai,
lampion, dan dekorasi Imlek turut memeriahkan dan mewarnai hotel, perumahan,
toko, bahkan event-event imlek dapat dinikmati sebagai bagian dari kehidupan di
Indonesia dengan kemunculannya di berbagai stasiun televisi yang menyiarkannya
tak kalah meriah. Tidak hanya itu, Imlek bahkan ditetapkan sebagai hari libur
nasional.
Sebuah jalan pembebasan yang diberikan kepada etnis
Tionghoa setelah sekian lama pada masa orde baru dibuat kebijakan untuk
memarginalkan segala yang berbau tradisi, agama dan adat terkait dengan etnis
mereka. Dimana pada masa orde baru tersebut, etnis Tionghoa hanya diberikan jalan
untuk memberikan keuntungan dan manfaat dalam relasi kuasa yang berupa patron
and klien, dalam bidang ekonomi, sementara bidang lainnya ditutup aksesnya.
Akibatnya terjadi ekslusifitas pada etnis Tionghoa yang identik dengan penguasaan
bidang perekonomian dibandingkan dengan yang bukan dari etnis Tionghoa. Namun
sebenarnya, sejarah ekslusifitas etnis Tionghoa jika ingin merunut kebelakang
telah terjadi sejak jaman kependudukan VOC di tanah air. Pemanfaatan yang sama
bagi VOC dalam bidang ekonomi yang dikhususkan bagi etnis Tionghoa, berlanjut
kepada pengakuan hukum yang berbeda dibanding dengan yang bukan etnis Tionghoa
dalam Kitab Hukum Perdata buatan Belanda yang diberlakukan pada masa
kolonialnya di tanah air Indonesia.
Terlepas dari itu semua, sejatinya
relasi secara ekonomi, sosial, dan kultural antara masyarakat tanah air
Indonesia dengan etnis Tionghoa telah terbangun berabad-abad lampau, jauh
sebelum VOC menerapkan politik devide et imperanya, jauh sebelum kekuasaan
kolonial Belanda berusaha mempertajam pengkotak-kotakan antar etnis, dan ras di
bumi Indonesia. Relasi tersebut bahkan menghasilkan corak asimilasi tersendiri
bagi kehidupan masyarakat Indonesia yang telah digunakan sebagai bagian dari
identitas budaya, baik dibidang kuliner, fashion, arsitektur, seni, bahasa, hingga lain-lainnya di seluruh tanah air
Indonesia yang pernah terjalin relasi dengan etnis Tionghoa.
Di Jambi terutama, bagaimana relasi
antara etnis Tionghoa dengan Jambi tampak kedalam peninggalan budaya secara
fisik yang masih terdapat hingga kini. Di beberapa sudut kota Jambi khususnya,
dapat dijumpai bangunan ibadah etnis Tionghoa peninggalan masa lampau yang
masih dapat digunakan contohnya seperti klenteng Siaw San Teng di Kampung
Manggis yang telah ada sejak tahun 1881. Ada juga klenteng Hok Tek yang
terdapat di kecamatan pasar kota Jambi, dan kini telah dijadikan cagar budaya
sebagai saksi sejarah adanya agama Konghucu di Jambi sejak tahun 1805. Komplek
percandian Muara Jambi yang sering digunakan hingga kini untuk ritual agama
Budha memperingati Waisak, juga merupakan bukti sejarah relasi etnis Tionghoa
dan Jambi.
Untuk
Dokumentasi berupa tulisan, Jambi memiliki bukti berupa disebutnya nama Jambi
atau Chanpi yang berupa perwakilan utusan dalam berita-berita Cina pada abad
IV. Dan saat itu telah terjadi perdagangan dibidang rempah-rempah, kain, bahan
makanan, pecah belah serta komoditi lainnya antara Cina dan Jambi. Bukti
pemukiman, awalnya etnis Tionghoa terkelompok di Jambi Seberang, kemudian
dibeberapa titik kota Jambi seperti Jelutung, The Hok, Talang Banjar, namun
saat ini pemukiman mereka telah tersebar merata bercampur dengan etnis lainnya
yang mendiami Jambi. Pada situasi yang kontemporer saat ini, peran etnis
Tionghoa juga mewarnai konteks bidang-bidang tertentu yang mengangkat nama
Jambi. Meiliana K . Tansri misalnya, yang berhasil mengangkat Jambi dalam
bentuk tulisan novel Trilogi Naga Berdarah emas, diterbitkan oleh Gramedia.
Dibidang politik juga telah bermunculan nama-nama Tionghoa yang duduk di kursi
DPRD Jambi.
Pertanyaan
berikutnya adalah, apakah jejak relasi, asimilasi, akulturasi, dan sejumlah
capaian personal etnis Tionghoa dalam mengangkat nama Jambi, telah berhasil
juga menyamakan persepsi secara keseluruhan identitas etnis Tionghoa dalam
kedudukannya dengan budaya melayu Jambi?. Mengingat, saat ini Jambi gencar
melakukan upaya Melayunisasi terhadap identitas wilayah, daerah, dan budaya
yang akan dibentuknya saat ini dan kedepan, setelah sekian lama Jambi anonim
dalam hal identitas.
Apakah
unsur budaya Melayu yang akan dibentuk mengcover semua yang hidup di negeri
Jambi tanah pilih pusako, Titian Teras Bertangga Batu ? termasuk etnis Tionghoa
yang menjadi bagian dan tinggal diatas tanah negeri Jambi.
Apakah dalam
hal ini, baik etnis Tionghoa maupun etnis lainnya yang hidup berdampingan sejak
lama di Jambi memiliki perasaan sebagai orang Melayu sebagai identitas Jambi,
saat ini dan akan datang sebagaimana yang diangankan dalam pembentukan
identitas Melayu Jambi.
Amat disayangkan jika
kemudian harapan pembentukan identitas Melayu Jambi, tidak membuka jalan dialog
antar peradaban yang telah lama membentuk kehidupan di negeri Jambi. Disamping
itu, juga amat disayangkan jika tidak terjadi keterbukaan pikiran antara etnis
Tionghoa yang telah lama hidup dari tanah
air sungai Batanghari dengan etnis lainnya untuk saling menguatkan
identitas Melayu Jambi. Jika yang terjadi kemudian justru penguatan identitas
masing-masing secara ekslusif dan tertutup, terutama kepada etnis Tionghoa yang
masih dibebani sejarah kelam terkait kerusuhan rasial etnis yang pernah terjadi
di tanah air, maka budaya Melayu Jambi tidak berhasil mendirikan tiangnya
secara kokoh di negeri Jambi, karena masih terdapat “yang lain” di dalam
konteks budaya Melayu, sementara kehidupan telah terjadi percampuran berabad
lampau.
Dari Imlek yang telah
dirayakan selama beberapa dekade reformasi berjalan, semoga dapat saling
membuka jalan dialog antar peradaban, dan pertukaran pemikiran yang masif
sehingga masing-masing memiliki keterbukaan, bukan ekslusifitas yang didasari
rasa skeptis untuk mewujudkan budaya Melayu Jambi yang berkeadaban dan kokoh.
0 Komentar untuk "Etnis Tionghoa dalam Budaya Melayu Jambi"