Ditulis Oleh; Bahren Nurdin, S. S., M. A.*
Diterbitkan di Koran Harian Jambi Ekspress, 30 Oktober 2013
Undang-undang No. 8 Tahun 2012 yang dipertegas di dalam Peraturan Komisi
Pemilihan Umum (KPU) No. 7 Tahun 2013 tentang Pencalonan Anggota
Legislatif mengamanatkan 30% keterwakilan perempuan. Ini artinya ada
kehendak Negara untuk meningkatkan partisipasi politik kaum hawa dengan
menambah keberadaannya (political presence) sehingga diharapkan dapat
ikut serta memberikan sumbangan ide (political ideas) dalam berbagai
kebijakan. Isu keterwakilan perempuan di dalam dunia politik khususnya
di dalam parlemen memang merupakan warna tersendiri dalam dunia politik
tanah air akhir-akhir ini. Ada kajian yang sangat serius untuk ‘memaksa’
kaum hawa bersama-sama kaum adam mengurusi urusan negeri ini, dan
mengurusi dirinya sendiri juga keluarga.
Logika yang dibangun oleh Undang-Undang ini tentu sangat sederhana bahwa
semakin banyak jumlah (30%) kehadiran prempuan dalam parlemen maka akan
semakin banyak sumbangan ide yang diberikan dalam kebijakan-kebijakan
yang dibuat. Bahkan logika ini lebih disederhanakan lagi dengan cara
‘yang penting banyak dulu’. Lantas sebenarnya, labih jauh lagi kita
harus berani mempertanyakan apa sebenarnya yang dibutuhkan Parlemen
(DPR-RI dan DPRD Prov/Kab/Kota) terhadap keberadaan perempuan di
dalamnya, kualitas atau hanya sekedar pemenuhan quota?
Pertanyaan ini sangat penting agar kita tidak terjebak nafsu penuhan
quota 30% semata. Maksud saya, biar sedikit tapi berkualitas. Jadi yang
sangat penting keberadaan perempuan dalam kancah pilitik itu bukan
semata jumlahnya yang banyak tapi yang jauh lebih penting adalah
kualitasnya. Para pahlawan yang merebut kebemerdekaan bangsa ini juga
tidak memenuhi quota 30% para perempuan yang terlibat di dalamnya. Tapi
satu dua perempuan yang muncul, namanya benar-benar memiliki kualitas.
Sebut saja Raden Ajeng Kartini, Cut Nyak Dien, dll yang kiprah dan
perjuangan mereka masih mampu mengispirasi kaum perempuan hari ini.
Lantas bagaimana kiprah kaum perempuan yang selama ini sudah berada di
dalam pusaran politik itu?
Munculnya nama-nama perempuan ‘bermasalah’ dan koruptor di parlemen dan
dunia politik memunculkan stigma buruk terhadap keberadaan perempuan
dalam berpolitik. Sebut saja nama Angelina Sondakh, Chairrun Nisa, Ratu
Atut Khosiyah (Gubernur Banten), dan beberapa nama lainnya yang terjerat
kasus hukum. Maka stigma buruk seperti ini harus mampu ‘dibayar’ oleh
karya-karya dan prestasi para perempuan lainnya di dunia politik untuk
menghapus anggapan bahwa perempuan di Parlemen tidak lebih ‘rakus’ dari
kaum lelaki. Tentu masih banyak perempuan anggota Parlemen lainnya yang
berprestasi dan berkarya; perlu kita berikan apresiasi.
Untuk menghadapi Pemilu Legislatif 2014 mendatang, fakta yang terjadi
hari ini, karena yang dikejar pemenuhan quota 30% keterwakilan perempuan
dalam pencalonan anggota legislatif baik pusat maupun daerah, partai
politik cenderung tidak selektif dalam menempatkan perempuan-perempuan
wakil mereka. Bahasa sederhananya, main ‘comot’ yang penting quota
terpenuhi. Banyak Parpol yang mengobral kursi legeislatif mereka untuk
kaum prempuan tanpa seleksi yang ketat. Cara berpikir seperti ini tentu
sangat membahayakan bagi keberlangsungan politik negeri ini. Lebih dari
itu, sebenarnya akan sangat berbahaya juga terhadap keberadaan perempuan
itu sendiri dalam dunia politik mendatang.
Maksud saya, jika pada parhelatan pemilihan legislative tahun 2014
mendatang kaum perempuan yang dicalonkan tersebut berasal dari kader
atau calon ‘asal comot’ oleh partai demi pemenuhan quota 30% maka tidak
menuntup kemungkinan akan duduklah perempuan-perempuan yang tidak
berkualitas di Parlemen. Ketika mereka duduk dan kemudian tidak mampu
mempresentasikan diri mereka sebagai wakil rakyat yang baik dan
semestinya, maka itu akan mengecewakan konstituen yang mereka wakili dan
rakyat negeri ini pada umumnya.
Akhirnya, suatu saat nanti akan terbentuk paradigma jelek terhadap kaum
perempuan tersebut di dalam dunia politik. Maka dari itu, menurut saya
pemenuhan quota (political presence) tidak berbanding lurus dengan
sumbangan ide (political idea) yang diberikan. Bahasa lebih
sederhananya, banyak jumlahnya belum tentu banyak manfaatnya. Tegasnya,
lebih baik tidak perlu memaksakan pemenuhan quota 30% tetapi menempatkan
perempuan-perempuan berkualitas di parlemen ketimbang banyak tapi
‘melempem’.
Hal ini tentunya dikembalikan kepada partai pengusung, dan hasilnya pun
akan kembali kepada citra partai tersebut. Jika mereka mampu menempatkan
perempuan-perempuan berkualitas nantinya di Parlemen maka nama partai
dan kader tersebut juga akan dikenang baik oleh masyarakat, dan
sebaliknya. Maka dari itu, sudah saatnya mempertegas peran partai dalam
menyeleksi dan mendidik para perempuan kader mereka. Partai harus mampu
memberikan peningkatan kualitas perempuan dengan memberikan pendidikan
dan pengkaderan politik yang baik. Partai juga harus memiliki criteria
dan persyaratan yang ketat dalam penjaringan calon-calon wakil rakyat
perempuan mereka.
Namun demikian, peran pertai tidak jauh lebih penting dari peran
masyarakat sendiri. Di tangan masyarakatlah nantinya penentuan
calon-calon perempuan wakil rakyat tersebut. Masyarakatlah yang memilih
mereka. Maka dari itu, masyarakat juga harus disadarkan bahwa pentingnya
memilih anggota dewan yang berkualitas dalam banyak aspek seperti,
aspek pengetahuan (intelligent quotient), aspek sosial (social
quotient), dan aspek kesolehan (spiritual quotient).
Masyarakat harus jeli memilih dan memilah mereka-mereka ini nantinya.
Aspek-aspek ini harus menjadi pertimbangan utama dibantding
pertimbangan-pertimbangan lain seperti kedekatan emosional dan
kekerabatan. Kita memerlukan perempuan di parlemen tidak hanya jumlahnya
tapi juga kualitasnya. Ketika perempuan berpolitik maka seyogyanya
mampu menjadi inspirasi bangsa ini seperti yang diinginkan R.A Kartini.
Bukankah kita tahu bahwa Nabi Muhammad menegaskan dalam haditsnya
“Perempuan itu tiang negeri. Bila baik perempuannya, baiklah negeri itu.
Manakala rusak perempuan, maka rusaklah negeri”.
*Dosen IAIN STS Jambi dan Sekjen Pelanta
0 Komentar untuk "Caleg Perempuan: Antara Kuota dan Kualitas "