Diterbitkan di Koran Harian Jambi Ekspress, 31 Oktober 2013
Semenjak diberlakukannya ketentuan tiga puluh persen
keterwakilan politik perempuan kedalam rezim undang-undang pemilu dan partai
politik di Indonesia, dapat disaksikan banyak calon legislatif perempuan ikut
andil dalam ajang kompetisi lima tahunan hajatan demokrasi pemilihan umum.
Keberadaan mereka seakan sebuah euforia merayakan hak-hak berpolitik perempuan
yang dalam kurun waktu lamanya amat berat dan lambat untuk ditampilkan
kehadapan publik.
Apalagi
di era terbukanya sistem politik dengan mekanisme pemilihan langsung terhadap
wakil rakyatnya, dan booming-nya
pencitraan dibandingkan dengan elektabilitas, semua orang, semua kalangan
diperkenankan untuk berpartisipasi dalam ajang pesta demokrasi tersebut. Ini
tanpa memperdulikan status sosial, suku, pekerjaan, asal-usul individu yang
berpartisipasi. Dikarenakan senjata pemilihan langsung dan pencitraan hanya
membutuhkan amunisi, modal yang kuat, keahlian pengemasan citra diri, jejaring
media pengontrol dan pengkatrol isu pencitraan.
Pada
calon legislatif perempuan yang dalam dua periode pemilihan umum sejak 2009
hingga nanti di 2014, berseliweran perempuan-perempuan dari dinasti politik
tertentu maupun tidak memiliki dinasti politik yang serius dijalankan sebagai
politikus maupun hanya sebagai pajangan politik. Sebagian dari mereka dikemas
dalam segi pencitraan sebagaimana iklan produk kosmetik dan fashion menempatkan
perempuan. Sebagian lagi, memang berjuang mencitrakan dirinya secara cerdas,
mengandalkan jaringan yang terbentuk karena pertumbuhan modal sosial sebab pola
aktivitas calon legislatif perempuan itu sendiri yang terlebih dahulu sudah
banyak bersinggungan dengan isu-isu di tingkat grass root.
Bagi
calon legislatif perempuan dalam kategori terakhir tersebut, mereka hanya
mengandalkan keyakinan pada jumlah mata pilih perempuan yang potensial
kemungkinannya mendukung mereka. Untuk itu mereka rela berkompetisi dengan
calon legislatif laki-laki yang tak kalah heboh dalam segi kemasan pencitraan
diri secara politis, dan kemampuannya menghamburkan uang demi meraih suara
terbanyak. Tak jarang dari kondisi ini, calon legislatif perempuan tersebut
menemui kenyataan yang amat menyakitkan, bahwa ternyata pemilih perempuan tak
banyak yang yakin untuk mendukung wakil yang berasal dari sesama kaumnya
sendiri. Jumlah mata pilih perempuan yang potensial itu justru berbondong-bondong
memilih untuk mendukung calon legislatif laki-laki meskipun hanya silau dengan
kamuflase pencitraan yang dikemas dalam bentuk ketampanan, kharisma, dan
bentuk-bentuk lain dari money politic yang
terselubung. Selebihnya mereka juga tidak percaya bahwa calon legislatif dari
kaumnya sendiri, dapat menjadi wakil dari mereka untuk mewadahi aspirasi mereka
secara umum.
Kondisi
ini tentunya menimbulkan suatu tanya yang besar. Derasnya arus kemunculan
perempuan dihadapan publik secara politik, dan bahkan sebagian sudah ada yang
berhasil menempatkan diri dalam posisi yang strategis baik di lembaga legislatif
maupun di lembaga lainnya, pemanfaatan jumlah mata pilih perempuan potensial
untuk mendulang suara legalitas kekuasaan laki-laki, mengapa justru perempuan
kian terpuruk dalam berbagai permasalahan dasar kehidupan yang membelit dan tak
kunjung terselesaikan terutama sekali ditingkat grass root.
Ada
banyak permasalahan perempuan yang krusial dihadapi oleh banyak perempuan di
negeri ini. Paling mendesak adalah jaminan keamanan dan kenyamanan hidup
perempuan untuk terbebas dari kekerasan dan diskriminasi dalam rumah tangga,
lingkungan kerja, kehidupan sosial kemasyarakatan. Kemudian soal traficking, ketenagakerjaan dalam maupun
luar negeri, masalah perlindungan maternitas
perempuan, jaminan kesehatan lingkungan dan reproduksi perempuan berikut
pengetahuannya, pendidikan dan pemberdayaan perempuan, pemanfaatan tekhnologi
tepat guna bagi perempuan, pemanfaatan ruang publik bagi keterlibatan aspirasi
perempuan yang selama ini cenderung diabaikan dalam setiap pembuatan kebijakan,
peran perempuan dalam bidang ekonomi dan kesejahteraan keluarga, hak paten
perempuan dibidang kreatifitas ilmu pengetahuan dan tekhnologi, dan masih
banyak lagi jika bersedia untuk di inventarisir satu persatu.
Sayangnya,
berbagai permasalahan tersebut cenderung dan bahkan jarang diangkat sebagai isu
dalam ajang kompetisi perebutan kursi legislatif perempuan, untuk meyakinkan
jumlah mata pilih perempuan potensial mendukung perolehan suara calon
legislatif perempuan sendiri. Padahal, jika saja isu-isu itu diolah sebagai
bagian dari era pencitraan secara politik baik oleh calon legislatif laki-laki
apalagi perempuan dengan syarat berkesinambungan, tidak terputus hanya pada
momen menjelang pemilu, dapat membentuk loyalitas dan jejaring pemilih
perempuan untuk mendukung secara kontinyu perolehan suara mendapatkan kursi
dilegislatif.
Kegagalan
mengambil hati pemilih perempuan ini, amat disayangkan jika terjadi. Tetapi
dalam kondisi pengejaran kuantitas keterwakilan politik perempuan, hal ini
dapat dimaklumi karena beberapa hal, diantaranya; calon legislatif perempuan
yang lebih disibukkan pada pengemasan pencitraan yang bak iklan kosmetik dan
fashion tersebut kurang dalam segi pemahaman arti keterwakilannya dan perannya
dijejaring kaumnya sendiri, karena kiat-kiat hedonisme menutupi tujuan
penampilan mereka dihadapan publik. Sedangkan calon legislatif perempuan yang
dengan cerdasnya berjuang, mengandalkan modal sosial dan jejaring aktifitas,
terkadang malah lebih memilih isu-isu umum dengan harapan dapat merangkul semua
kalangan.
Penulis
kira, kegagalan tersebut dapat ditutupi dalam jangka menengah ini. Cara yang
paling krusial adalah membangun pemikiran bersama antara calon legislatif
perempuan dan pemilih perempuan yang jumlahnya potensial tersebut, bahwa adanya
keterwakilan politik perempuan apalagi yang berhasil duduk pada kursi
legislatif, adalah sebagai tangga darurat bersama bagi kaum perempuan, yang
sewaktu-waktu dapat diulurkan kepada perempuan jika menghadapi situasi yang
membahayakan jiwa dan keberadaan perempuan juga keluarga serta lingkungannya,
meskipun untuk meraih tangga darurat tersebut dibutuhkan perjuangan yang tidak
mudah. Maka dalam hal ini, keterwakilan politik perempuan, bukan hanya soal
eksisnya perempuan diruang publik untuk semata-mata mendapat pengakuan, tetapi
juga suatu hal yang bermanfaat dan urgen bagi sesama kaumnya.
0 Komentar untuk "MENGAMBIL HATI PEMILIH PEREMPUAN"