Ditulis Oleh : Irma Sagala, S.IP., M.Si
Diterbitkan di Harian Jambi Ekspress, 29 Oktober 2013
Diterbitkan di Harian Jambi Ekspress, 29 Oktober 2013
Membaca artikel di Jambi Ekspress, 22 Oktober 2013 dengan judul
Politik Indonesia dan Peluang Bagi Perempuan yang ditulis oleh Nona Wenny,
sapaan saya untuk penulis, saya tergelitik juga untuk menulis sebuah perspektif
yang berbeda. Sebagai sebuah realitas politik yang didukung legislasi, aksi
afirmasi -affirmative action- utuk perempuan di lembaga legisatif saya
pikir perlu selalu diperbincangan, dievaluasi dampaknya serta ditilik
kesesuainnya dengan perkembangan sosial budaya masyarakat. Lebih dari itu,
implementasi aksi afirmasi pada era otonomi daerah saya pikir perlu
mempertimbangkan kondisi sosiologis dan antropologis masing-masing daerah.
Sejak pertama kali aksi afirmasi 30 % caleg perempuan diterapkan
melalui Pasal 65 (1) UU RI No. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, saya
termasuk orang yang tidak begitu sepakat dengan pasal tersebut. Baiklah saya
uraikan beberapa pemikiran yang menurut saya sampai akhir ini masih tetap perlu
dijawab dengan ilmiah.
Pertama, seberapa pentingkah “banyak perempuan” duduk di
lembaga formal politik semacam DPR/DPD? Adalah hak setiap manusia untuk
beraktivitas sesuai dengan minat dan kemampuannya termasuk dalam bidang politik
praktis. Tapi mengharapkan lembaga legislatif diisi minimal 30 % perempuan
tentu harus dilihat apa urgensinya. Sebagian besar alasan pendukung aksi
afirmasi adalah agar kepentingan kaum perempuan dan tema-tema sosial lainnya mendapat
perhatian layak dalam proses legislasi di
negeri ini. Fakta menunjukkan bahwa keberadaan kaum perempuan di
legislatif sejak reformasi secara umum belum menunjukkan kinerja yang memuaskan
sesuai dengan yang diharapkan. Kalau mau disebut, undang-undang atau Perda apa
saja yang benar-benar hasil perjuangan kaum perempuan? Ada perumusan UU RI No.
44 Tahun 2008 tentang Anti Pornograafi yang sempat mencuri perhatian banyak
kalangan, karena cukup menonjolkan peran kaum perempuan di DPR. Tapi, alih-alih
mendapat simpati dari gerakan perempuan secara makro, malah sebagian gerakan
perempuan yang beraliran feminis sekaligus pendukung aksi afirmasi, justeru
menjadi penentang RUU tersebut sebelum akhirnya disyahkan.
Opini-opini yang justeru banyak beredar menunjukkan bahwa keberadaan
perempuan di lembaga legislatif belum menunjukkan pengaruh signifikan terhadap
isu-isu perempuan dan permasalahan sosial lainnya. Padahal, seperti diurai
dalam tulisan Nona Wenny, keberadaan perempuan di kancah institusi politik tersebut
memiliki konsekuensi tidak sederhana dalam hidup pribadi dan sosialnya.
Apalagi, kapasitas perempuan dalam dunia politik memang belum memadai. Maka masalahnya adalah pada “kapasitas”, bukan
“banyaknya”. Tanpa bermaksud meremehkan kemampuan perempuan, saya menilai tidak
semua perempuan sesuai dengan dunia politik praktis, khususnya dengan budaya
politik Indonesia saat ini. Oleh karena itu, pendekatan terhadap peningkatan
kuantitas saya pikir justeru salah arah dalam upaya membangun kebijakan publik
yang ramah perempuan dan masalah sosial lainnya. Kebijakan aksi afirmasi keterwakilan 30 % tersebut justeru
memaksakan kaum perempuan untuk masuk dunia yang belum tentu sesuai dengan
nalurinya, dan selanjutnya menjadi pemubaziran sumber daya kampanye. Padahal,
akses perempuan terhadap sumber daya untuk membiayai kampanye saja masih sangat
terbatas. Kenapa peluang-peluang dukungan penguatan perempuan seperti ini tidak
dialihkan saja kepada aspek-aspek yang lebih penting, semacam dukungan
pendidikan tinggi untuk perempuan, atau dukungan fasiltas kerja ramah
perempuan? Inilah harga mahal demokrasi; Pemilu.
Kedua, jika pun aksi afirmasi dimaksudkan untuk
meningkatkan keterwakilan perempuan di legislatif, seberapa efektifkah aturan
30 % caleg harus perempuan untuk tujuan tersebut? Jumlah
kursi yang diperoleh perempuan pada periode 2004- 2009 hanya 11,6 % di DPR
sedangkan di DPD sebesar 19,8 %. Dibanding dengan periode pertama Pemilu
setelah reformasi, jumlah kursi yang diperoleh perempuan memang meningkat dari
hanya berjumlah 9,9 %. Namun, justeru jumlah tersebut menurun jika dilihat dari
masa Orde Baru yang tidak mengenal aksi afirmasi yaitu berjumlah 12 % pada
Pemilu 1992. Untuk menguatkan aksi afirmasi, UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD
dan DPRD sebagai pengganti undang-undang sebelumnya menambah aturan
afirmasi di KPU, PPK, Bawaslu bahkan pembentukan kepengurusan partai politik,
semua harus memperhatikan keterwakilan perempuan. Hasilnya, pada Pemilu 2009, perempuan
memperoleh kursi sejumlah lebih 18 %.
Kebijakan
aksi afirmasi keterwakilan 30 % ini tidak memiliki akar argumentasi yang kuat.
Jika asumsinya adalah selama ini kesempatan politik kaum perempuan berada pada
subordinasi laki-laki sehingga perlu perlakukan khusus, adalah lebih tepat jika
sistem pemilihannya juga mendapat perlakuan khsus sehingga tujuan “banyak
perempuan” di legislatif itu benar-benar terwujud. Mislanya, pemilihan caleg
dibagi 2 kategori untuk calon laki-laki dan perempuan. Bahkan jika 30 %
perempuan di legislatif tercapai pun, dalam sistem demokrasi juga tidak terlalu
signifikan keberadaannya. Contoh sederhana, jika dalam sebuah usulan adanya
cuti haidh bagi perempuan dalam RUU ketenaga-kerjaan, 30 % anggota DPR
perempuan setuju, tapi laki-laki tidak setuju dengan berbagai alasan, maka
keputusan tetap akan menolak. Artinya, keberaadaan perempuan di legislatif
hanya diarahkan pada batas pelengkap atau pengusung ide.
Maka,
kembali kepada pertanyaan pertama, seberapa pentingkah “banyak perempuan” itu
di legislatif? Belajar pada kiprah perempuan-perempuan politik -untuk menyebut
mereka yang memang memiliki kapasitas politik yang baik- mereka hadir dan
mejadi fenomenal dengan mengandalkan kapasitas pribadi. Kapasitas yang tumbuh
melalui sebuah proses pendidikan serta pembiasaan dalam lingkungan sosialnya,
bisa jadi keluarga, sekolah, organisasi, atau pergerakan yang mereka ikuti.
Kebanyakan dari mereka, juga hidup dalam lingkungan sosial-budaya yang
“dianggap” kental dengan subordinasi laki-laki. Bahkan, sebagian mereka menjadi tokoh-tokoh politik di
usia sangat muda. Sebut saja Bashaeer Othman, yang berani mewakili kaum muda memimpin Kota
Allar-Palestina selama 2 bulan dalam usia 16 tahun, atau Atifete
Jahjaga yang merupakan presiden perempuan termuda dengan menduduki kursi
presiden Kosovo dalam usia baru 36 tahun. Ada juga Corazon Aquino yang menjadi Presiden
Filipina lebih dari 6 tahun, Chandrika Kumaratunga menjadi Presiden Sri Langka
lebih 11 tahun dan masih banyak lainnya. Terlepas dari
pro-kontra model dan capaian kepemimpinan mereka, ternyata mereka adalah
sebagian dari perempuan-perempuan yang memang memiliki kapasitas di dunia
politik. Mereka tumbuh dengan alami, tanpa desain aksi afirmasi.
Ketimbang memperjuangkan “banyak perempuan”
di lembaga legislatif dengan sistem Pemilu yang biasa saja, membicarakan
optimalisasi posisi tawar perempuan di luar parlemen -extra parliamentary- lebih menarik. Meskipun sebelumnya saya
mengatakan tidak semua perempuan sesuai masuk dalam dunia politik praktis, tapi
perempuan memiliki posisi tawar yang tinggi dalam politik. Besarnya potensi
yang dimiliki oleh perempuan ini disadari betul oleh penguasa Orde Baru.
Menurut saya, inilah mengapa Orde Baru sangat memperhatikan pengorganisasian
perempuan di bawah kontrol pemerintah. Dengan dalih pemberdayaan perempuan,
Dharma Wanita dan kegiatan PKK telah dijadikan salah satu alat penguasa Orde
Baru untuk menyosialisasikan dan menyukseskan agenda-agenda pemerintah.
Selain
media, perempuan memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam mempengaruhi
peta dan budaya politik masyarakat. Selain jumlahnya yang besar, karakter umum
perempuan itu mudah terpengaruh dan sebaliknya mudah mempengaruhi. Apalagi jika
dikaitkan dengan ikatan emosional kelompok, perempuan pada saat-saat tertentu
bisa menjadi sangat kompak. Ditambah lagi kemampuan perempuan dalam menyebarkan
informasi sudah teruji, bahkan melalui sarana paling tradisional, dari mulut ke
mulut. Maka dalam politik, menurut saya ada 2 kelompok yang jangan sampai
menjadi musuh; media dan perempuan. Melawan perempuan sama dengan melawan arus.
Sebagai contoh, sudah banyak kasus jatuhnya popularitas seorang tokoh karena
isu perselingkuhan atau pelecehan seksual. Tindakan seperti itu tidak diterima
secara umum oleh perempuan.
Pada
konteks inilah saya melihat penguatan peran politik perempuan lebih dibutuhkan
dan lebih memungkinkan. Keberadaan organisasi-organisasi perempuan yang secara
aktif memantau kebijakan pemerintah, mengampanyekan politik santun dan bersih
serta memberi contoh hidup yang bebas KKN, akan lebih berpeluang memberikan
kontribusi posisif bagi pembangunan sistem politik Indonesia sekaligus juga
ramah terhadap perempuan itu sendiri. Dalam model ini, kelompok perempuan bisa
mengatur sendiri ritme gerakannya yang disesuaikan dengan tuntutan maupun
dukungan lingkungan sosial-budaya setempat. Bagi masyarakat di daerah yang
masih sangat kental dengan nilai-nilai tradisi dan agama, tuntutan peran
perempuan dalam urusan kerumah-tanggaan sangat besar. Peran-peran extra parliamentary seperti ini jelas
lebih mendapat dukungan dari masyarakat, sehingga akan mengurangi konflik
interpersonal. Akhirnya saya menyimpulkan, untuk Indonesia masa sekarang,
biarlah perempuan-perempuan yang berbakat memasuki institusi politik formal
secara alami, dan di luar institusi
politik formal itu, perempuan-perempuan lainnya berjuang dengan format yang
berbeda.
Oleh: Irma Sagala (Dosen Ilmu
Pemerintahan IAIN STS Jambi)
0 Komentar untuk "Posisi Tawar Perempuan dalam Politik; Signifikankah Aksi Afirmasi?"