Tulisan ini diterbitkan di Koran Harian Jambi Ekspress, 15 November 2013
Dibukanya
keran demokrasi pada era reformasi hingga kini, menyebabkan peluang untuk ikut
serta kedalam kehidupan politik berbangsa
dan bernegara sebebas-bebasnya. Partai politik dengan berbagai ragam warna
ideologi bertumbuh dalam kurun waktu pemilihan umum beberapa tahun ini. Begitu
juga dengan jumlah peserta calon anggota legislatif yang meramaikan bursa
perebutan kursi legislatif disetiap hajatan pemilu yang digelar.
Kini setiap orang dapat mencalonkan
diri menjadi anggota legislatif dalam pemilihan umum. Terlepas siapa, apa, dan
bagaimana latar belakang orang tersebut. Asal memenuhi kualifikasi yang
disyaratkan oleh Komisi Pemilihan Umum, dengan minimal berbekal ijasah Sekolah
Menengah Atas, dapat menjadi calon anggota legislatif dengan kendaraan partai
tertentu yang ditumpanginya dan mendukung ambisi calon anggota legislatif
tersebut.
Maka, imbas dari semua itu, kita
saksikan maraknya iklan politik calon anggota legislatif yang bertaburan berupa
sanduk, baliho, pamflet, dan lain-lain baik yang didukung oleh media cetak
maupun elektronik. Iklan politik ini mengupayakan sedemikian rupa agar calon
anggota legislatif memiliki sebuah gambaran diri yang sedemikian baik,
mengesankan, sedap dipandang mata, meyakinkan untuk dipilih nanti ketika
pemilihan umum berlangsung. Gambaran ini harus sesering mungkin dilihat oleh
pemilih, agar dapat terkumpul sempurna dalam memori pemilih yang dapat
memperngaruhi untuk mendulang suara calon legislatif nanti. Tidak heran jika
ditemukan iklan politik ini bertebaran jauh sebelum kampanye pemilihan umum
diumumkan apalagi menjelang detik-detik pemilihan umum. Kita saksikan berbagai
iklan politik ini berebut ruang diantara pohon-pohon, jalan protokol,
sudut-sudut strategis hingga kepelosok tak kalah hebohnya dengan iklan produk consumer good. Meskipun ada upaya Komisi
Pemilihan Umum akhir-akhir ini untuk menertibkan jumlah iklan politik yang
akhirnya berkesan pada sampah politik ini, tetap saja diberbagai tempat masih
ditemui sisa-sisanya yang luput dari penertiban.
Inilah yang dinamakan dengan era
pasar politik bebas. Peluang berpolitik yang terbuka, disambut oleh jasa iklan
politik di berbagai media tersebut yang siap memasarkan calon anggota
legislatif juga eksekutif, lengkap dengan janji-janji manis politiknya layaknya
produk permen atau makanan ringan. Iklan boleh dibuat seheboh mungkin, tetapi
soal rasa atau kualitas produk urusan belakangan, yang terpenting bagaimana
produk banyak laku dipilih sehingga pemasarannya dianggap berhasil meskipun
harus mengeluarkan biaya yang tak kalah hebohnya. Bahkan diujung detik-detik
mendekati pemilihan umum, manajemen pemasaran politik ini memberikan cashback
politik bagi pemilih yang loyal terhadap pencitraan calon anggota
legislatif, berupa money politik atau
biasa disebut serangan fajar sebelum pemilihan umum.
Kondisi ini membuat calon anggota
legislatif yang siap dengan modal besar dengan upaya manuver pencitraan diri,
lebih dikenal dan sering disebut-sebut oleh masyarakat calon pemilih. Sangat
mahfum, jika kemudian calon anggota legislatif yang terpilih kadang berasal
dari aspek ketenaran karena pencitraan ini, seolah dekat dengan pemilih padahal
hanya sekali kunjungan singkat yang digelar layaknya jumpa fans, selebihnya
serahkan kepada jalannya iklan. Setelah benar-benar dilantik menjadi anggota
legislatif, euforia iklan yang bersangkutan sepi, begitu juga dengan
implementasi janji-janji manis politiknya selama beriklan. Posisi anggota
legislatif sebagai wakil rakyat kemudian sangat sulit terjangkau ataupun
tersentuh, karena pertimbangan iklan menempatkan mereka sebagai figur artis
politik. Terlepas, apakah pada kenyataannya mereka benar-benar menyambung
aspirasi pemilih di lembaga legislatif, atau hanya sekedar numpang hidup mewah
demi status sosial.
Padahal sejatinya, seorang anggota
legislatif adalah seorang wakil politik yang akan duduk dilembaga perwakilan
politik. Tugasnya tidak hanya sekedar merespon kepentingan yang diwakili,
tetapi juga pelayanan dalam kebijaksanaan, menengahi juga meredakan konflik
antara dirinya dan yang diwakili. Hal ini membuat apa yang dilakukan oleh
anggota legislatif selaku wakil politik dalam lembaga perwakilan politik
memiliki dampak sistemik dalam kehidupan bersama, apalagi dalam kehidupan
politik, karena konteks dari perwakilan politik tidak semata-mata hanya dalam
segi politis, tetapi juga, budaya, sosial dan ekonomi melalui kebijakan dan
porsi keterwakilan yang mereka perankan.
Pemilihan umum dalam hal ini adalah
suatu prosedur dan tata cara untuk menjamin keabsahan seorang wakil politik
dalam kedudukannya. Idealnya, untuk menjamin terlaksananya fungsi keterwakilan,
ada kualifikasi yang harus dipenuhi oleh seorang wakil, diantaranya seperti;
kemampuan, keahlian, juga status. Tuntutan akan hal ini menempatkan seorang
wakil politik dalam posisi yang tidak sembarangan, dalam pandangan dirinya
maupun pemilih.
Keterpilihan seorang wakil
politik atau elektabilitasnya secara
ideal akan mempertimbangkan idealisme dari hakikat, dan juga terlaksananya
fungsi keterwakilan ini. Merujuk padanya, maka faktor elektabilitas dikonsepkan
pada kedekatan calon anggota legislatif atau wakil politik kepada pemilih
secara nyata secara alamiah dekat, bukan semu. Wakil politik dikenal karena
memang adanya mereka memperkenalkan diri bukan sebagai produk massal pemilihan
umum yang bersinergi dengan jasa periklanan. Perjumpaan dengan pemilih adalah
perjumpaan politis terhadap realisasi kontrak politik dalam jangka panjang.
Pencitraan untuk membangun kesan dan
menyampaikan pesan disatu hal memang diperlukan dalam jaman derasnya informasi
saat ini. Elektabilitas memerlukan dukungan pencitraan, agar pemilih sebagai
konsumen politik memahami latar belakang dan sejauh mana wakil politiknya
memenuhi kualifikasi yang berdampak dalam kehidupan bersama secara sosial,
budaya dan ekonomi, apalagi politik. Pencitraan saja dengan mengesampingkan
elektabilitas berkualifikasi, akan menyebabkan penurunan secara massal kadar
mutu demokrasi yang dibangun bersama, karena lembaga perwakilan politik gagal
memberikan jaminan bahwa pilar berdemokrasi yang baik akan tetap menyangga
kehidupan bersama. Tetapi ini terserah kepada kita semua, akan tetap berpegang
kepada pencitraan atau elektabilitas.
0 Komentar untuk "Elektabilitas atau Pencitraan"