Tulisan ini dimuat di Jambi Independent, 29 April 2014
Telah
dua dekade dalam pemilihan umum, pada ranah politik eksistensi perempuan
dipanggil melalui sistem perlakuan khusus sementara, berupa kebijakan pemberian
kuota keterwakilan perempuan pada kursi legislatif sebesar 20 hingga 30 %. Meskipun
pada kenyataannya, kuota tersebut hanya berlaku pada jenjang struktural
kepengurusan partai politik dan pencalonan kandidat legislatif, tidak pernah
sampai kepada penempatan perempuan dikursi legislatif yang sebenarnya.
Bentuk affirmative action yang diberikan tersebut, setidaknya perlu
ditinjau ulang kedepan jika memang negara ini dengan sistem politik dan
budayanya serius untuk berupaya meningkatkan peran dan partisipasi perempuan
pada ranah politik dan jabatan publik. Pada faktanya, kebijakan affirmative action yang saat ini diberikan belum berdampak pada
keberadaan perempuan di kursi parlemen juga pada produk kebijakan yang
dikeluarkan oleh parlemen, apalagi dari segi pemberdayaan konstituen perempuan
dibawah.
Sejumlah aktivis politik perempuan
dilapangan membedakannya dengan masa orde baru, dimana orde baru menyediakan
porsi secara tetap diparlemen, wakil-wakil yang hendak duduk diatasnya,
termasuk kepada wakil perempuan. Selain menyediakan jatah kursi kepada perempuan,
orde baru saat itu memang menyeleksi wakil perempuan yang duduk dikursi parlemen
berdasarkan kualitasnya, saat itu terdapat fakta bahwa tanpa dukungan kebijakan
affirmative action, ternyata
persentase perempuan di parlemen lebih banyak dibandingkan dengan saat ini. Melalui
dukungan kebijakan affirmative action
faktanya saat ini persentase perempuan di parlemen menurun. Beberapa faktor
ditengarai menjadi penyebab turunnya persentase tersebut, selain kebijakan affirmative action saat ini yang seolah
sengaja menjegal perempuan pada taraf pencalonan, dimana perempuan harus babak
belur ditingkat pencalonan untuk dapat duduk dikursi parlemen, mereka juga
menyayangkan tersingkirnya kandidat legislatif perempuan yang berkualitas
karena permasalahan dana, dinasti, dukungan (3D).
Kondisi perempuan dan ranah politik
di Indonesia, terutama pada masa orde reformasi dan setelahnya, menyeret
perempuan mau tidak mau harus berhadapan dengan arus politik yang menghadang
dihadapan mata dan langkah mereka. Jika perempuan tidak ingin menyeberang dan
bersentuhan dengan arus politik tersebut, pilihannya adalah masa depan
kebijakan negara dan sistem politik yang entah sampai kapan tidak akan
menyentuh eksistensi perempuan sebagai bagian dari kemanusiaan yang mempunyai
hak-hak sama sebagai warga negara sebagaimana lelaki. Namun, jika memilih untuk
menyeberang dan bersentuhan dengan arus politik untuk dapat duduk di kursi
parlemen dan jabatan publik, segala konsekuensi politik maupun lainnya siap
menanti perempuan yang masih dalam tahap pembelajaran di bidang politik, dan
masih meraba-raba secara buta terhadap peran, posisi, jaringan, ketegasan,
serta strategi di medan politik.
Medan politik dimana perempuan harus
menyeberanginya sebelum sampai ke kursi legsilatif, penuh tantangan, terutama
dari segi politik transaksional yang menjadi ciri penegakkan demokrasi di
Indonesia saat ini. Perempuan yang
berhasil terseret ke arena politik harus berhadapan dengan upaya-upaya politik
transaksional, dimana kualitas kandidat legislatif perempuan dipertaruhkan vs
kuantitas, dengan mempertimbangkan 3D
tadi. Begitu juga idealismenya untuk menegakkan hakikat keterwakilan
perempuan di ranah politik dan jabatan politik. Fakta dilapangan, menunjukkan
politik transaksional menjadi ganjalan bagi perjuangan perempuan untuk
menembusnya. Tidak sedikit kandidat legislatif perempuan berkualitas yang jauh
hari telah melakukan upaya pemberdayaan terhadap lingkungan sekitarnya, dan
berhasil mengentaskan masalahnya, justru tidak mendapatkan dukungan ketika
meminta bantuan suara untuk maju ke arena politik, dengan alasan konstituen
bahwa mereka telah mendukung kandidat lain yang terlebih dahulu telah memberikan
sejumlah uang tertentu untuk membeli aliran partisipasi suara mereka. Sebagaian
kandidat legislatif perempuan memilih maju dengan segala idealisme yang mereka
bawa meskipun tanpa embel-embel 3D. Sebagian lagi berhasil selamat sampai
keseberang arena politik dan duduk manis di kursi parlemen berkat 3D meskipun
tanpa disertai bekal dan kualitas yang memadai terhadap arti keterwakilannya di
politik.
Di akar rumput, konstituen perempuan
tidak berdaya dihadapkan kepada pilihan politik transaksional. Minimnya
pengetahuan akan keterwakilan perempuan yang harus mereka dukung, budaya
patriarki yang masih kental menyelimuti, isu-isu sekitar kehidupan perempuan
dan keluarga yang secara khusus jarang disentuh dan diangkat oleh kandidat
legislatif khususnya kandidat perempuan. Citra, pesan dari informasi perempuan
di arena politik yang dikabarkan secara tidak berimbang, tak pelak memunculkan
pesimisme, sinisme terhadap kandidat legislatif perempuan. Maka pilihan yang
rasional adalah yang pasti membayar suara mereka sebagai konstituen, dan kepada
kandidat legislatif lelaki yang telah dengan pasti secara optimis dapat
diandalkan memimpin dan punya pengetahuan di arena politik, atau kepada
kandidat legislatif perempuan dari dinasti dimana beberapa lelaki berada dibelakangnya.
Fakta-fakta ini menjadi catatan
penting bagi perempuan di tahun politik, meskipun harus tertatih, jatuh bangun
perempuan berhadapan dengan semua ini, menurut penulis anggapan bahwa
kesempatan dan karir perempuan di dunia politik akan mati, tidak sepenuhnya
benar. Justru segala apa yang telah terjadi pada perempuan di arena politik
pada momen tahun politik ini, adalah pembelajaran bagi perempuan untuk memahami
kedudukan, peran, strategi di arena politik. Lebih dari pada itu, bahwa
perjuangan perempuan di arena politik telah dimulai untuk melangkah pada babak
selanjutnya, dari sini, tahun politik 2014. Perjuangan itu belum selesai !.
0 Komentar untuk "Catatan Perempuan di Tahun Politik"