Tulisan ini di muat di Jambi Ekspress, 3 April 2014
Pendidikan yang membebaskan dan memberdayakan, begitulah Paulo Freire
menggagas konsep pendidikan. Baginya, pendidikan bukanlah memisahkan
realitas kemanusiaan yang dialami oleh peserta didik. Pendidikan
berangkat dari pengalaman yang dimiliki oleh peserta didik baik itu guru
maupun anak didiknya. Didalam pendidikan model Paulo Freire ini, guru
dan anak didik sama-sama menghadapi permasalahan di lingkungan
sekitarnya dan sama-sama mengatasi permasalahan tersebut, dimana guru
berperan sebagai fasilitator dan koordinator.
Paulo freire mengkritik model pendidikan gaya bank, dimana murid sebagai pengumpul ilmu pengetahuan dari gurunya, dan suatu saat nanti ilmu pengetahuan yang dikumpulkannya tersebut dikeluarkan dalam bentuk yang sama persis apa yang telah guru transfer kepada mereka. Menurutnya, pendidikan gaya bank ini merupakan warisan kolonial, dimana pendidikan dibuat demi memenuhi kepentingan kaum penguasa. Hasilnya, akan menghasilkan peserta didik yang juga mewarisi dan bergerak sesuai dengan kepentingan kaum penguasa, menindas bahkan kepada sesamanya.
Pada konsep pendidikan yang membebaskan dan memberdayakan, Paulo Freire menyebutkan bahwa penggunaan bahasa yang sesuai dengan kondisi peserta didik adalah dimungkinkan, karena pendidikan memang berangkat dari pengalaman siswa, dan siswa memiliki latar belakang, pemahaman dan bahasa yang berbeda terhadap permasalahan yang mereka tangkap. Bahasa adalah alat untuk mendengarkan dan didengarkan, secara timbal balik antara guru dan murid.
Pendidikan bagi Paulo Freire, adalah pendidikan yang mendekatkan manusia kepada kemanusiaannya. Dimana soal rasa sebagai manusia termanifestasi didalam pendidikan gaya hadap masalah ide dari Paulo Freire. Bukan pendidikan yang menjauhkan peserta didik dari kemanusiaannya, memisahkan peserta didik dari realitas yang dihadapinya sebagai manusia, yang memiliki pengalaman, rasa, aspirasi, suara, bahasa, untuk dipahami, didengarkan, dan saling mendengarkan.
Keterlibatan kita didalam dunia pendidikan tidak hanya semata memenuhi keinginan kekuasaan, dimana kita sebagai objek program kebijakan kekuasaan didalam target tertentu yang jauh dari rasional. Sudah saatnya pendidikan di tanah air dikembangkan dalam rangka pemberdayaan dan pencerahan, yang dapat membebaskan semua manusia Indonesia dari keterbelengguan, kemiskinan, kebodohan, amoral, ketidakpedulian, kekerasan. Untuk itu, sebaiknya kebijakan pendidikan di tanah air, dikembangkan dan diterapkan tanpa menimbulkan rasa takut, tertekan, hampa yang menghantui sisi kemanusiaan manusia Indonesia, baik anak-anak maupun orangtuanya.
Paulo freire mengkritik model pendidikan gaya bank, dimana murid sebagai pengumpul ilmu pengetahuan dari gurunya, dan suatu saat nanti ilmu pengetahuan yang dikumpulkannya tersebut dikeluarkan dalam bentuk yang sama persis apa yang telah guru transfer kepada mereka. Menurutnya, pendidikan gaya bank ini merupakan warisan kolonial, dimana pendidikan dibuat demi memenuhi kepentingan kaum penguasa. Hasilnya, akan menghasilkan peserta didik yang juga mewarisi dan bergerak sesuai dengan kepentingan kaum penguasa, menindas bahkan kepada sesamanya.
Pada konsep pendidikan yang membebaskan dan memberdayakan, Paulo Freire menyebutkan bahwa penggunaan bahasa yang sesuai dengan kondisi peserta didik adalah dimungkinkan, karena pendidikan memang berangkat dari pengalaman siswa, dan siswa memiliki latar belakang, pemahaman dan bahasa yang berbeda terhadap permasalahan yang mereka tangkap. Bahasa adalah alat untuk mendengarkan dan didengarkan, secara timbal balik antara guru dan murid.
Pendidikan bagi Paulo Freire, adalah pendidikan yang mendekatkan manusia kepada kemanusiaannya. Dimana soal rasa sebagai manusia termanifestasi didalam pendidikan gaya hadap masalah ide dari Paulo Freire. Bukan pendidikan yang menjauhkan peserta didik dari kemanusiaannya, memisahkan peserta didik dari realitas yang dihadapinya sebagai manusia, yang memiliki pengalaman, rasa, aspirasi, suara, bahasa, untuk dipahami, didengarkan, dan saling mendengarkan.
Keterlibatan kita didalam dunia pendidikan tidak hanya semata memenuhi keinginan kekuasaan, dimana kita sebagai objek program kebijakan kekuasaan didalam target tertentu yang jauh dari rasional. Sudah saatnya pendidikan di tanah air dikembangkan dalam rangka pemberdayaan dan pencerahan, yang dapat membebaskan semua manusia Indonesia dari keterbelengguan, kemiskinan, kebodohan, amoral, ketidakpedulian, kekerasan. Untuk itu, sebaiknya kebijakan pendidikan di tanah air, dikembangkan dan diterapkan tanpa menimbulkan rasa takut, tertekan, hampa yang menghantui sisi kemanusiaan manusia Indonesia, baik anak-anak maupun orangtuanya.
Kualitas pendidikan akan lebih baik jika tidak lagi diukur melalui
standar angka dan patokan kaku soal kepintaran dibidang matematika, ilmu
pengetahuan alam, dan sejenisnya. Bagaimana pendidikan ditanah air,
mampu menghargai kecerdasan manusia yang beragam dari berbagai bidang,
tanpa perlu takut dan minder karena tidak menguasai bidang tertentu atau
semua bidang. Karena pintar bukan ukuran kemanusiaan. Didalam
universitas kehidupan, dimana pengalaman adalah guru yang sebenarnya dan
terbaik, kecerdasanlah yang berperan penting dan menopang manusia untuk
dapat tangguh bertahan sebagaimana eksistensinya sebagai manusia.
Pendidikan Indonesia telah mengalami perjalanan yang panjang, baik itu dibentuk untuk memenuhi kepentingan penguasa, untuk menyamakan kedudukan warga terjajah dengan penjajah, untuk menggerakkan masyarakat supaya dapat melawan keterbelengguan dari permasalahan hidupnya. Kini telah banyak ditemui manusia berpendidikan tinggi seiring dibukanya secara massal lembaga pendidikan di Indonesia. Jumlah mereka membludak setiap tahunnya, berjubel memenuhi lapangan kerja, dan mendaftarkan antrian permasalahan sosial di masyarakat.
Dari ribuan lulusan lembaga pendidikan yang dikontrol secara ketat oleh kebijakan pemerintah, hanya beberapa yang dapat bertahan menghadapi gelombang permasalahan kehidupan disekitarnya, apakah itu menjadi penindas bagi sesamanya, ataukah melakukan upaya kritik terhadap pendidikan yang berlangsung dan pernah mereka alami untuk mengembangkan pendidikan alternatif yang lebih membebaskan, memanusiakan, dan memberdayakan, dan itu tidak pernah mereka dapatkan dari generasi sebelumnya.
Sebagian besar hasil output pendidikan di Indonesia menciptakan manusia dengan insting robot, yang hanya memiliki kepintaran operasional, tetapi miskin kecerdasan dan kepekaan serta daya nalar. Di dunia kerja mereka tertatih memahami interaksi, isyarat, bahasa, dari perintah-perintah dan informasi yang diberikan kepada mereka. Tidak ada insting mendengar, apalagi dialog dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan yang menghadang mereka.
Begitu juga didalam kehidupan sehari-hari, pendidikan membuat satu sama lain menjadi terasing hanya karena sederet gelar, perasaan yang lebih tahu dan lebih beradab daripada yang tidak berpendidikan. Output model ini, cenderung menghalalkan segala cara untuk mengatasi permasalahan sosial kehidupan mereka, dan senang menjadi terasing dan tidak tersentuh satu dengan lainnya.
Seiring dengan permasalahan diatas, kakunya model pendidikan formal di tanah air, akhirnya membuat bertumbuh pendidikan model alternatif dimasyarakat, dimana keberadaan murid, identitasnya, kecerdasannya diakui. Sebagian besar akhirnya memilih berpaling kepada pendidikan model alternatif ini, karena sekolah yang formal tidak mampu menampung permasalahan anak didiknya diluar standar yang telah ditentukan, begitu juga dengan kurikulumnya. Sebagian besar itu juga merasakan bahwa generasi kedepan memerlukan daya kembang dan keberdayaan yang lebih manusiawi dari pada generasi sebelumnya, dan pendidikan alternatif dijadikan tumpuan.
Melihat kepada hal ini, jika pendidikan formal di tanah air, tidak mampu menoleh kepada nilai-nilai humanis yang telah berkembang dan merangkak menuntut tempat didalam wadah pendidikan, ia akan bersaing dengan pendidikan alternatif dan lebih memungkinkan untuk ditinggal kebelakang. Selamat hari pendidikan.
Pendidikan Indonesia telah mengalami perjalanan yang panjang, baik itu dibentuk untuk memenuhi kepentingan penguasa, untuk menyamakan kedudukan warga terjajah dengan penjajah, untuk menggerakkan masyarakat supaya dapat melawan keterbelengguan dari permasalahan hidupnya. Kini telah banyak ditemui manusia berpendidikan tinggi seiring dibukanya secara massal lembaga pendidikan di Indonesia. Jumlah mereka membludak setiap tahunnya, berjubel memenuhi lapangan kerja, dan mendaftarkan antrian permasalahan sosial di masyarakat.
Dari ribuan lulusan lembaga pendidikan yang dikontrol secara ketat oleh kebijakan pemerintah, hanya beberapa yang dapat bertahan menghadapi gelombang permasalahan kehidupan disekitarnya, apakah itu menjadi penindas bagi sesamanya, ataukah melakukan upaya kritik terhadap pendidikan yang berlangsung dan pernah mereka alami untuk mengembangkan pendidikan alternatif yang lebih membebaskan, memanusiakan, dan memberdayakan, dan itu tidak pernah mereka dapatkan dari generasi sebelumnya.
Sebagian besar hasil output pendidikan di Indonesia menciptakan manusia dengan insting robot, yang hanya memiliki kepintaran operasional, tetapi miskin kecerdasan dan kepekaan serta daya nalar. Di dunia kerja mereka tertatih memahami interaksi, isyarat, bahasa, dari perintah-perintah dan informasi yang diberikan kepada mereka. Tidak ada insting mendengar, apalagi dialog dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan yang menghadang mereka.
Begitu juga didalam kehidupan sehari-hari, pendidikan membuat satu sama lain menjadi terasing hanya karena sederet gelar, perasaan yang lebih tahu dan lebih beradab daripada yang tidak berpendidikan. Output model ini, cenderung menghalalkan segala cara untuk mengatasi permasalahan sosial kehidupan mereka, dan senang menjadi terasing dan tidak tersentuh satu dengan lainnya.
Seiring dengan permasalahan diatas, kakunya model pendidikan formal di tanah air, akhirnya membuat bertumbuh pendidikan model alternatif dimasyarakat, dimana keberadaan murid, identitasnya, kecerdasannya diakui. Sebagian besar akhirnya memilih berpaling kepada pendidikan model alternatif ini, karena sekolah yang formal tidak mampu menampung permasalahan anak didiknya diluar standar yang telah ditentukan, begitu juga dengan kurikulumnya. Sebagian besar itu juga merasakan bahwa generasi kedepan memerlukan daya kembang dan keberdayaan yang lebih manusiawi dari pada generasi sebelumnya, dan pendidikan alternatif dijadikan tumpuan.
Melihat kepada hal ini, jika pendidikan formal di tanah air, tidak mampu menoleh kepada nilai-nilai humanis yang telah berkembang dan merangkak menuntut tempat didalam wadah pendidikan, ia akan bersaing dengan pendidikan alternatif dan lebih memungkinkan untuk ditinggal kebelakang. Selamat hari pendidikan.
0 Komentar untuk "Humanisasi Pendidikan"