Diterbitkan di Koran Harian Jambi Ekspress, 20 Mei 2014
Martir
demokrasi, begitulah sebutan bagi mahasiswa yang pada saat peristiwa reformasi
memuncak di negeri ini, mereka tumbang oleh hantaman peluru panas dari aparat
keamanan negara yang diutus untuk menstabilkan desakan gelombang gerakan
mahasiswa menuntut reformasi dari rezim otoriter orde baru. Saat itu, mereka
adalah martir bagi tegakknya demokrasi yang diimpikan selama lebih tiga puluh
dua tahun orde baru berkuasa, dan selama itu pula hak rakyat akan kehidupan
demokrasi yang semestinya dibungkam dan dikangkangi oleh keotoriteran orde baru
bersama sistem kekuatan militernya.
Gerakan reformasi yang dimotori oleh
mahasiswa itu tidak terelakkan lagi pada masa orde baru, pasca dinyatakan terpilihnya
kembali Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia ditahun 1998, dan semakin
memasukkan kroni-kroni dan dinasti politiknya pada susunan kabinet yang
dibentuknya. Disamping itu, kekerasan atas nama stabilitas politik semakin
masif diberlakukan kepada rakyat dengan menafikkan hak asasi manusia. Dibidang ekonomi, kesenjangan juga
semakin menunjukkan wajahnya antara kondisi-kondisi yang semakin tidak
menguntungkan, tidak berpihak dan tidak mensejahterakan rakyat, melainkan keberpihakkan
lebih kepada klien-klien orde baru yang dimonopoli oleh borjuasi lokal dan
pihak asing. Pembangunan sebagai konsep ketahanan orde baru menghisap begitu
banyak darah rakyat dan menggelembungkan kapitalis, bukan rakyat.
Sejarah gerakan mahasiswa di negeri ini telah
berlangsung beberapa dekade, pada masa kemerdekaan, hingga reformasi. Gerakan
mahasiswa merupakan bagian dari penguatan civil society dalam domain antara
subkultur kekuasaan yaitu negara, subkultur ekonomi yaitu pihak swasta, dan
subukultur sosial yaitu rakyat. Respon mahasiswa sebagai kelas menengah
terdidik terhadap kondisi disekitar mereka merupakan suatu kesadaran yang
dibangun oleh kelas mereka untuk mengawal ketidakseimbangan, ketidakadilan dan ketidakberpihakkan
subkultur kekuasaan yang seharusnya melayani rakyat sebagai subkultur sosial
yang mendukung kekuasaan bersama dengan kelas menengah terdidik tersebut.
Jika subkultur sosial dalam hal ini
masyarakat dihubungkan dengan kekuasaan sebagai konstituen dan konsumen yang
rentan terhadap ketidakberdayaan, maka mahasiswa yang merupakan kelas menengah
dimana pendidikan yang mereka peroleh merupakan wujud keberdayaan mereka dan
posisi tawar mereka berhadapan dengan kekuasaan. Kelas menengah mahasiswa ini
merupakan penentu opini-opini yang berkembang disekitar kekuasaan dan isu-isu
kekuasaan yang dibawa mengalir kepada subkultur sosial yang rentan terhadap
ketidakberdayaan tersebut.
Olehkarena itu, gerakan mahasiswa
disebut sebagai gerakan politik nilai yang merupakan versus dari gerakan
politik praktis. Gerakan politik nilai yang termanifestasi didalam gerakan
mahasiswa merupakan manifesto idealisme
mahasiswa untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang orientasi
utamanya adalah menegakkan kebenaran, keadilan, intelektualitas, dan
profesionalitas berhadapan dengan kekuasaan negara. Sebaliknya, gerakan politik
praktis adalah sebuah gerakan yang dilakukan dengan orientasi kepada kekuasaan,
dan biasanya termanifestasi didalam lembaga-lembaga politik dan kelompok
kepentingan lainnya yang memiliki orientasi sama.
Dikarenakan gerakan politik nilai
yang mengusung idealisme ini, maka gerakan mahasiswa dikatakan sebagai gerakan
murni yang memiliki independensi, spontanitas, tidak terkooptasi oleh
kepentingan tertentu, melainkan sebagai kontrol sosial dalam berdirinya domain
negara diruang publik ketika menyelenggarakan pengelolaan negara. Antikekerasan
juga merupakan salah satu aspek dari gerakan mahasiswa dalam menegakkan kontrol
terhdap kekuasaan dan pemberdayaan nilai gerakan mereka kepada masyarakat.
Luasnya jangkauan gerakan mahasiswa juga merupakan satu daya tarik yang unik
penyebaran nilai idelaisme, independensinya.
` Reformasi telah berlalu, belasan
tahun sudah sejak 1998 beberapa tragedi yang terjadi untuk mengusung tegaknya
nilai-nilai demokrasi yang lebih berpihak kepada rakyat dalam hal negara
mengelola kekuasaannya diruang publik. Saat itu, kondisi yang otoriter
memungkinkan idealisme gerakan mahasiswa berhadapan dengan kekuasaan masih
terlihat murni, idealis, dan tidak berpretensi menumbuhkan jejaring keuntungan
pribadi bagi kepala gerakannya maupun peserta gerakannya. Kondisi dan
lingkungan disekitar gerakan mahasiswa juga belum terlalu parah mengidap
pragmatisme.
Berbeda dari sekarang, dimana
demokrasi telah bertumbuh menjadi bola liar yang bernama liberalisme dan
neoliberalisme, lingkungan pendidikan tempat mahasiswa bertumbuh sebagai kelas
menengah, telah terkooptasi dengan
kepentingan pragmatis. Seiring
dengan itu, kemajuan pesat nilai kapitalisme global telah melenakan fungsi
keberadaan mereka diperguruan tinggi yang kian bertumbuh. Orientasi lembaga
pendidikan yang saat ini sangat pro terhadap pasar dari bentuk sekolah dasar
hingga perguruan tinggi, menyulap jiwa-jiwa mahasiswa yang sampai pada
perguruan tinggi menjadi tumpul terhadap kondisi disekitar mereka, perguruan
tinggi sangat menginginkan mahasiswa menjadi anak manis yang membawa nama baik
lembaga. Kondisi-kondisi sosial politik tidak lagi menekan kelas mereka sekejam
pada masa orde baru berkuasa. Kekuasaan merubah kebijakan mereka berhadapan
dengan mahasiswa, yaitu lebih lunak dan kooperatif. Berbagai pihak kini melihat gerakan mahasiswa
adalah suatu objek potensial yang dapat dijadikan tunggangan untuk kepentingan
tertentu, apalagi pihak-pihak yang sakit hati terhadap kekuasaan dan tidak
mendapatkannya.
Pola gerakan mahasiswa yang tampil
adalah pola untuk merajut jejaring sosial mereka setelah nantinya mereka lulus
sebagai alumni dari perguruan tinggi. Setidaknya, rasionalisasi dari idealisme
yang diusung oleh gerakan mahasiswa sekarang sulit untuk dipisahkan, apakah
idealisme itu corong dari kepentingan yang mengkooptasi mereka ataukah
benar-benar idealisme murni yang independen karena kesadaran mereka sebagaimana
pendahulu mereka diawal. Terkadang mahasiswa sendiri tidak menyadari apakah
yang mereka usung diruang publik dalam bentuk-bentuk demonstrasi dapat ditakar
dengan rasionalitas yang sehat dengan background yang menggerakkan mereka,
memfasilitasi mereka.
Bangsa ini sangat membutuhkan figur
gerakan civil society yang kuat, yang tumbuh bertunas pada gerakan yang tidak
rentan untuk diberdayakan oleh pola-pola kekuasaan dan tidak terlena oleh sifat
kooperatif kekuasaan. Gerakan mahasiswa sebagai tumpuan bagi gerakan diluar
mahasiswa untuk menguatkan tumbuhnya civil society yang kuat dalam pilar domain
negara. Jika gerakan mahasiswa sudah terkooptasi sedemikian rupa, lalu
bagaimana dengan gerakan disekitarnya, dimana setelah menjadi alumni perguruan
tinggi terkadang mereka meneruskan pola gerakan diluar.
0 Komentar untuk "Gerakan Mahasiswa Pasca Reformasi"