ads
ads

Keniscayaan E-Government Di Indonesia

Tulisan ini di terbitkan oleh Jambi Independent, 23 Juni 2014



Dalam debat calon presiden (Capres), istilah-istilah yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan elektronik atau e-government, banyak disebutkan oleh capres. Istilah-istilah yang tertangkap dengan jelas mengenai e-government tersebut adalah seperti halnya, e-budgetting, e-processing. Bahkan dikatakan akan mengefektifkan sistem online dalam pelayanan publik untuk pemerintahan yang di jalankan jika dia terpilih menjadi presiden.
            E-government sebagaimana yang disebutkan oleh capres, sebenarnya bukanlah hal baru bagi negara Indonesia. Dalam tataran implementasi e-government se-Asia Tenggara Indonesia berada di peringkat ke-7  dari 11 negara yang tercakup dalam Asia Tenggara, dibawah Thailand, diikuti dibawahnya lagi oleh Laos, Kamboja, Myanmar, dan Timor Leste. Sementara pada peringkat teratas adalah Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam, Filipina. Namun dalam tataran implementasi dunia, Indonesia berada di peringkat ke- 97 dari 190 negara, dibawah Azarbaijan. Kelima besar dari peringkat implementasi e-government dunia dari pertama adalah Korea, kemudian Belanda, diikuti dengan Inggris, Denmark, Amerika.
            Di Indonesia, pelaksanaan e-government di instruksikan melalui Instruksi Presiden No.3 Tahun 2003 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government. Dalam Instruksi Presiden tersebut E-government adalah suatu strategi terhadap pengembangan penyelenggaraan pemerintahan menuju ke kategori good governance, terutama dalam kerangka peningkatan pelayanan publik yang lebih efektif dan efisien. Maka, Instruksi Presiden ini juga dibuat dalam kerangka mengkoordinasikan seluruh unsur kelembagaan pemerintah agar memadukan kebijakannya yang terkait dengan pelaksanaan e-government, termasuk pula pada pemerintah daerah. Pada pemerintah daerah, setelah adanya  Instruksi Presiden ini, dibuatkan blue print  atau cetak biru implementasi e-government di daerah yang juga mengacu kepada penyelenggaraan otonomi daerah khususnya UU. No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dimana titik tekannya adalah memberdayakan daerah melalui kefektifan dan kefisensinya melakukan pelayanan publik kepada masyarakat.  
            Pilihan terhadap e-government pada sistem pemerintahan negara di seluruh dunia saat ini,  menjadi sesuatu yang jika tidak dipilih maka akan tertinggal dalam tataran peradaban global dimana ilmu pengetahuan dan informasi menjadi basis baru bagi kekuasaan dan monopoli. Namun jika memutuskan untuk dipilih, ada berbagai hal yang perlu dikaji ulang oleh setiap negara dalam segi implementasi maupun pemanfaatannya. Tidak dapat dipungkiri memang ketika globalisasi merupakan perubahan drastis bagi ekologi kehidupan manusia di bumi baik secara alami maupun artifisial, revolusi industri, massalnya tekhnologi terutama informasi bagi kebudayaan peradaban manusia, membawa dampak pada cara hidup, gaya, pandangan.
            E-government hadir menjadi suatu sistem pemerintahan alternatif di era globalisasi, untuk mewadahi perubahan peradaban berbasis tekhnologi tersebut.  Bagaimana sistem pemerintahan memanfaatkan perkembangan tekhnologi terutama sekali tekhnologi informasi, untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintahan yang lebih efektif, efisien, strategis, tepat guna, diantara makin kompleksnya tuntutan hidup warga negara yang harus dengan segera di selenggarakan, mengacu kepada arus perubahan yang hanya dalam hitungan detik. Disamping itu, demokrasi sebagai suatu mekanisme dalam sistem politik mensyaratkan keterlibatan aktif secara dialogis antara warga negara dan pemerintahannya.
            Maka bayangan e-government, adalah menyediakan sarana pemerintahan yang dapat diakses tanpa kenal waktu dan tempat, terdata dengan baik secara sistem, mencerdaskan kehidupan warga negara dan pemerintahannya, memberikan implementasi paradigma kekuasaan dan kepemimpinan yang lebih fleksibel dan dapat dilaksanakan dalam sekali sentuh, lebih dapat beradaptasi dengan kepentingan semua pihak dan segala permasalahannya, lebih ramah, tanpa harus terhalangi kehadiran fisik, dan segala birokrasi yang selama ini dilabeli sebagai tirai gelap hubungan warga negara dan pemerintah.
            Tidak sedikit yang memandang e-government dari sisi pesimis. Beberapa mengatakan bahwa e-government adalah proyek impor untuk mewadahi kepentingan asing bercokol di negara berkembang, kemudian memudahkannya untuk melakukan eksploitasi. Disamping itu, e-government sarat dengan biaya tinggi yang jauh secara rasional, dan hal ini menguras anggaran keuangan negara hanya untuk kepentingan tertentu.
            Terlepas dari itu, e-government di Indonesia dalam implementasinya memang terkesan agak sulit untuk dikembangkan secara cepat. Hambatan pelaksanaan e-government menghadang seperti jejaring kusut yang membutuhkan kesabaran mengurainya. Diantara hambatan tersebut yang pertama sekali adalah faktor geografis, dimana kontur alam Indonesia tidak memungkinkan secara mudah untuk terhubung dengan jaringan tekhnologi informasi tanpa resiko tinggi, untuk ini juga diperlukan terobosan anggaran yang lumayan besar. Hambatan kedua, adalah sumber daya manusia baik pengelola e-government maupun masyarakat penggunanya, dengan sebaran geografis penduduk Indonesia yang masih banyak di wilayah pedesaan dengan kontur alam rumit, perlu waktu lama agar e-government dapat diperkenalkan, disamping itu persentase warga yang melek secara informasi dan tekhnologi juga tidak lebih banyak daripada yang buta secara informasi dan tekhnologi. Terkadang juga berhadapan dengan kesiapan alam rasional masyarakat dalam menggunakan tekhnologi untuk tidak disalahgunakan.
            Bagi pengelola e-government, hambatan selain tercukupinya potensi sumber daya manusia di bidang tekhnologi dan informasi, juga terdapat pada masalah pada bagaimana kekuasaan secara politis dapat dengan rela mengakomodir e-government sebagai masa depan sistem pemerintahan alternatif yang menjanjikan. Kultur korupsi, nepotisme, dan kolusi yang menjadi label setia pada kekuasaan di sistem pemerintahan Indonesia, menjadi hambatan bagi penerapan e-government yang menuntut transparansi, akuntabilitas, dan kecerdasan tinggi pengambilan keputusan kekuasaan yang berwenang. E-government jelas akan menjadi batu sandungan kultur tersebut dalam sistem pemerintahan Indonesia.
            Banyak anggaran negara yang telah terkuras untuk proyek e-government terutama pada pemerintahan daerah, yang lucunya hanya berupa pemunculan portal berbasis web, penyediaan jaringan intranet di institusi pemerintahan. Namun, pengembangan selanjutnya seolah tidak terpikirkan, karena paradigmanya hanya menyediakan web dan intranet semata. Bagaimana keniscayaan e-government sebagai masa depan sistem pemerintahan alternatif di Indonesia ini dapat menemukan bentuk dan tempatnya di derasnya arus globalisasi yang serba tidak pasti melanda masa depan peradaban manusia? Semoga kepemimpinan Indonesia mendatang dapat memecahkan masalah ini.
0 Komentar untuk "Keniscayaan E-Government Di Indonesia"
Back To Top