ads
ads

Sharing Culture Pada Demokrasi Kita

Tulisan ini di muat oleh Koran Harian Jambi Ekspress, 4 Juli 2014



Demokrasi memang mensyaratkan adanya hak kebebasan berpendapat dan hak partisipasi yang di junjung tinggi serta di dorong untuk mewujudkan kebaikan bersama. Keran kebebasan itu kini diputar sekencang-kencangnya dan mengalirkan kebebasan yang begitu deras dalam kultur kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini merupakan perubahan yang cukup signifikan pasca ketotaliteran rezim orde baru runtuh oleh gelombang desakan penegakkan demokrasi. Sejak itu pula, kultur kehidupan masyarakat Indonesia terbiasa dialiri tiada henti semangat kebebasan mengemukakan pendapat dan berpartisipasi diruang publik yang terkait dengan pemerintahan dan kondisi politik terkini.
            Kultur masyarakat Indonesia selama dalam cengkeraman rezim orde baru yang haus akan kebebasan berpendapat dan aktualisasi partisipasi, kini mendapatkan penawarnya. Perkembangan media massa yang begitu pesat baik cetak maupun elektronik juga di dukung oleh perkembangan tekhnologi terutama yang berbasis informasi, mewujudkan rasa haus kebebasan tersebut dengan mengalirkan informasi dan menyediakan saluran untuk mengungkapkan serta mengekspresikan kebebasan berpendapat dan aktualisasi partisipasi di ruang publik.
            Tidak berhenti hingga di situ, tersedianya media alternatif di luar media mainstream, yaitu media jejaring sosial yang telah berkembang menjadi media lini massa, melengkapi penawar dahaga kebebasan masyarakat Indonesia. Kelebihan media sosial yang tanpa adanya kontrol, batasan ketat, mampu menembus sekat geografis juga sekat-sekat lainnya dalam mengungkapkan kebebasan berpendapat dan aktualisasi partisipasi warga di ruang publik, seperti halnya sekat-sekat sosial, budaya, ekonomi, politik. Hal ini di manfaatkan secara baik oleh masyarakat Indonesia untuk menyebarkan informasi, gagasan, opini, citra, pengaruh, sesuai dengan kepentingan yang di emban.
            Terkait dengan hal tersebut, dapat di amati perkembangan budaya berbagi informasi atau sharing culture masyarakat Indonesia menjelang pemilu presiden 9 Juli 2014 nanti. Mengerucutnya calon presiden hanya pada dua poros yaitu Jokowidodo-Jusuf Kalla dan Prabowo-Hatta, memberikan pergerakan masif upaya sharing culture berbasis poros kepentingan kedua pasangan calon presiden tersebut. Tiba-tiba di tengah masyarakat Indonesia terbelah diantara kedua poros tersebut. Kanal informasi di banjiri gaduhnya dialog, monolog, dan keinginan untuk membagikan gagasan mengenai kedua calon presiden tersebut, baik secara berimbang maupun secara berpihak, pun secara rasional dan menafikkan akal sehat.
            Dua poros pasangan calon presiden tersebut menjadi isu penting bagi simpatisan di masing-masing kubu, baik simpatisan yang telah di bentuk, maupun simpatisan sukarela, atau simpatisan kejutan yang banyak mengapung di arus informasi mengenai kedua poros tersebut. Simpatisan di kedua kubu ini saling berlomba membanjiri saluran informasi. Tidak cukup hanya dengan membagi blog informasi pada media mainstream, tetapi juga melakukan upaya screaming semacam jeritan tiada henti yang dapat memekakkan kepekaan sosial pengguna di media sosial, agar di dengar oleh jutaan pengguna media sosial yang terjalin dalam jejaring.
            Bagaimana upaya screaming  tersebut tidak dapat di nafikkan berpengaruh terhadap kepekaan sosial pengguna media sosial ? simpatisan di kedua kubu calon pasangan presiden tersebut, setiap detik melakukan strategi kampanye terselubungnya secara black campaign  untuk menjatuhkan kubu pasangan calon presiden tandingannya berikut gerombolan dan simpatisannya. Bahkan tidak cukup hanya itu, kebanyakan screaming  informasi itu telah secara masif menggelitik saraf kepekaan sosial pengguna media sosial dengan perilaku kampanye negatif yang mereka upayakan.      
            Pengguna media sosial dalam kondisi jelang pemilu presiden 9 Juli 2014 nanti, begitu akrab dengan informasi dan gagasan untuk membagikan keburukan masing-masing pasangan calon presiden, simpatisan dan pengusungnya, baik secara personal maupun institusional.  Keburukan-keburukan yang dibagikan itu, setiap detik dicari dan diciptakan untuk dibagikan atas nama kebebasan berpendapat dan aktualisasi partisipasi mendukung poros pasangan calon presiden.
            Setiap pengguna media sosial di paksakan untuk pro atau kontra terhadap upaya screaming tersebut, dan ini terjalin dari hasil informasi yang dibagikan pada media mainstream yang telah terdiversifikasi secara politis terhadap kedua poros pasangan calon presiden tersebut yang juga menempuh upaya lebih banyak menonjolkan kampanye negatif secara terang-terangan untuk menjatuhkan kubu tandingan masing-masing, tanpa memperdulikan batasan etika dan estetika penyampaian informasi. Akhirnya, jutaan informasi yang mengalirkan kecenderungan kampanye negatif itu, berhasil melabrak batasan integritas setiap individu yang terseret arus banjir bandang informasi.
            Begitu fanatiknya kepentingan membela kedua poros pasangan calon presiden, setiap kawan dapat berbalik menjadi lawan jika berseberangan pilihan dan pendapat. Begitu mudahnya setiap individu membredel kecerdasan sesama manusia atas nama HAM, SARA, dan kefatalan dukungan. Apakah itu akademisi, aparat, birokrat, pengamat, yang seharusnya menjaga keseimbangan kultur masyarakat di derasnya arus informasi dengan ciri kenetralannya, jelang pemilu presiden ini hal tersebut tidak berlaku. Mereka cukup signifikan terwakili dengan apa yang mereka bagikan di saluran informasi, dengan dalih bahwa apa yang mereka lakukan tersebut merupakan upaya signifikan dalam memberikan role mode cara berdemokrasi mendorong kepentingan partisipasi masyarakat demi masa depan mendatang, dan kebebasan berpendapat itu merupakan suatu kanal partisipasi pemicunya untuk melakukan kontrol diruang publik.
            Amat disayangkan, jika perkembangan demokrasi kita di Indonesia nyatanya menangkap transformasi kultur berbagi yang jauh dari penyampaian kebenaran dan hal-hal rasional serta informasi yang sehat dan menyehatkan. Dimanakah logika dalam kultur berbagi seperti ini di wadahi oleh demokrasi ? dan jika budaya ini terus berlanjut, kita hanya mendapatkan bentuk bangunan kebencian diatas kebencian dalam demokrasi yang kita sakralkan, yang bisa jadi menyesatkan alam pikir kita untuk mencari tanda keluar dari  labirin permasalahan dalam kultur demokrasi yang melingkupi kita
0 Komentar untuk "Sharing Culture Pada Demokrasi Kita"
Back To Top