Tulisan ini di publikasin di Koran Harian Jambi Ekspress, Sabtu 07 Juni 2014
Sejumlah
paradox memenuhi ruang publik dalam perjumpaan politik di tahun politik 2014
ini. Paradox tersebut membuat pergeseran yang cukup signifikan dalam memahami
politik di tanah air. Sepertinya, pasca reformasi dan mengalami tiga kali
pemilihan umum, telah membuat masyarakat Indonesia dan elit politik di tanah
air belajar banyak untuk memegang peranan dalam memainkan bola panas politik agar
mendapatkan pembagian kekuasaan yang kini dimaknai secara massal.
Ketika kekuasaan dimaknai secara
massal, maka siapapun berhak mendapatkannya, menggunakannya. Politik dalam hal
ini telah bergeser sebagai manifestasi meraih kekuasaan semata, terlepas untuk
apa kekuasaan tersebut digunakan. Maka dalam kondisi yang seperti ini, paradox
muncul dalam bingkai politik kekuasaan. Paradox yang bermakna sebagai serba
ketidakpastian, telah menjadi fenomena tersendiri dalam wajah perpolitikan
tanah air saat ini. Tidak ada yang dapat dipastikan dalam jangka pendek maupun
jangka panjang langkah-langkah yang diambil dan perilaku politik yang
dihadirkan dalam proses politik yang sedang berlangsung, apakah itu didalam
lembaga politik, maupun di luar lembaga politik, pun dalam ranah partisipasi
rakyat.
Paradox yang pertama dimulai dengan
tidak didapatkannya perolehan suara secara mutlak dalam pemilu legislatif 9
April kemarin. Partai-partai politik kemudian terkelompok kedalam peringkat
perolehan suara yang sangat minimal sebatas mendukung eksistensi partai di parlemen.
PDIP berhasil menduduki peringkat tertinggi dalam perolehan suara, akan tetapi
perolehan sekitar 18 % tersebut tidak dapat menggenapi PDIP sebagai pemenang
tunggal. Gerindra ada pada peringkat kedua setelah PDIP, diikuti oleh Golkar,
Demokrat dan PKB. Akan tetapi kelima besar partai tersebut justru bukan pada
tenpat yang sebenarnya bergabung berdasarkan perolehan suara dalam menuju
pemilu presiden. Kelima besar partai tersebut justru adalah pentolan friksi
perpecahan dukungan dan poros koalisi dalam
pemilu presiden. Ini diikuti oleh partai politik yang posisinya ada pada
sepuluh besar dan dibawahnya.
Paradox perolehan suara tersebut
mengiringi paradox ketokohan dalam tubuh partai politik. Krisis ketokohan dalam
tubuh partai Islam, apalagi semenjak kasus korupsi gencar membunuh karakter
kader dan tokoh partai Islam terutama PKS, membuat partai Islam sedikit
menggadaikan ideologi ke Islamannya, untuk melihat peluang pasar koalisi dan
konsolidasi yang sekiranya dapat mengamankan kelemahan partai Islam yang selama
ini selalu mengalami kontra kebijakan ketika meluncurkan produk syariat Islam,
dan juga luka karena kepentingannya selalu dianulir dalam memperjuangkan umat,
kecuali pada PKB yang memiliki pandangan plural dan rasional dalam langkah-langkah
politik kepentingannya. Sementara itu partai nasionalis diluar PDIP dan
Gerindra, tidak cukup signifikan untuk dapat membuat tokoh partainya bersinar
sebagai calon presiden dari segi pencitraan maupun dukungan pasar. Demokrat
bahkan harus membiarkan keputusan konvensi partainya yang mengusung Dahlan
Iskan sebagai calon presiden, diam dan mengalah pada sikap netral yang diambil
dalam koalisi.
Paradox selanjutnya tentu terlihat
pada koalisi yang terbentuk pada dua poros, yaitu poros PDIP dengan pasangan
calon presiden Jokowidodo- Jusuf Kalla, dengan didukung partai yaitu Hanura, Nasional
Demokrat, PKB. Poros berikutnya yaitu Gerindra dengan pasangan calon presiden
Prabowo Subianto –Hatta Rajasa, dengan didukung partai yaitu PPP, PKS, PAN,
PBB, terakhir Golkar. Dua poros koalisi
ini mencerminkan kepentingan friksi dan merupakan akumulasi ketegangan sejak
lama, ditambah dengan sikap netral dari Demokrat. Merapatnya partai Islam ke
poros Gerindra, kecuali PKB, adalah suatu bentuk dukungan politis dimana
sebelumnya pernah terjadi perjumpaan politik yang tidak menyenangkan antara
partai Islam dengan PDIP. Penerimaan Gerindra terhadap partai Islam, padahal sedari
awal Gerindra menyatakan pembersihan partainya dari unsur agama, adalah juga
pengalaman Gerindra yang dalam dua kali event politik bertemu tangan dengan
PDIP, semisal dalam pemilu 2009 dan Pilkada DKI. Kini Gerindra memutuskan jabat
tangan politisnya justru untuk berhadapan dengan PDIP. Golkar, dimana Jusuf
kalla masih menjadi patron partai justru merapat ke poros Gerindra.
Paradox koalisi ternyata menyebar
kepada bentuk dukungan yang tidak militan terhadap koalisi resmi yang telah
dibentuk partai. Kader partai, elit dan organisasi sayap partai mengalami
perpecahan dukungan yang signifikan diantara kedua poros tersebut, bahkan itu
terjadi pada partai demokrat yang menyatakan diam dan netral, juga pada partai
Golkar yang resmi mendukung Gerindra. Hari Tanu pasca Hanura menyatakan
bergabung dengan poros PDIP, justru menyatakan resign dan mendukung poros
Gerindra. Perpecahan dukungan dalam pemilu presiden 2014 ini, dibandingkan
dengan pemilu tahun sebelumnya, adalah yang paling kontras dan terang-terangan.
Paradox perpecahan dukungan ini disatu sisi menampakkan wajah partai politik
kita secara fleksibel berhadapan dengan politik. Disisi lain, menunjukkan
semakin meningkatnya kepentingan golongan, maupun individu didalam tubuh partai
yang banyak di dominasi oleh politikus sejati bukan oleh negarawan sejati.
Pada akhirnya sejumlah paradox yang
terjadi tersebut, tinggal menunggu hasil akhirnya, siapakah yang memenangkan
dua poros koalisi tersebut. Jelasnya, kepentingan tiap friksi dan individu,
apakah itu karena pernah sakit hati, gagal dalam hal konsolidasi dan akomodasi
dalam perjumpaan politik yang sebelumnya, atau karena tidak cukup keberanian
untuk maju secara gentlemen dalam arena politik, telah diletakkan kepada kedua
tangan poros koalisi, tangan siapa nantinya yang akan terbuka dan memenangkan
kekuasaan, tangan siapa yang akan tetap tertutup dan menjadi pecundang dalam
menggunakan kekuasaan.
0 Komentar untuk "Paradox Koalisi Hompimpah"